Mohon tunggu...
Rizal De Loesie
Rizal De Loesie Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Lelaki Penyuka Senja

Rizal De Loesie, Terkadang Rizal De Nasution dari Nama asli Yufrizal mengalir darah Minang dan Tapanuli. Seorang Lelaki yang sering tersesat di rimba kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepada Siapa Cinta Harus Kutitipkan

28 April 2014   06:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja yang mentah, matahari masih terasa menggit diubun – ubun, memercikkan keringat disetiap persendian. Dan awan seakan tak peduli, tak ada niat untuk menghalang sisa cahaya matahari. Sementara angin enggan juga untuk berlari, hingga kerontang siang belum berakhir diawal senja ini.

Dermaga kayu ini masih seperti dulu, disisinya kilau air laut menyilaukan pandangan mata menatap. Seakan enggan untuk membuang pandangan kearah laut yang berkilau. Hanya deru ferry dan boat yang silih berganti memecah ombak dan menggoyang tiang penyangga dermaga usang. Berderik, bergoyang seakan terasa badan terhuyung.

Aku masih duduk terlena tak menatap pada matahari, tak beranjak dari bangku usang berkilat bekas ratusan kali diduduki. Aku diam, begitu banyak bongkahan perasaan yang berkecamuk dalam hati. Inikah atau itukah jalan terbaik yang harus aku lalui? Mampukah aku menepis semua derita seorang diri ? haruskah aku lari dari semua ini?

***

Hamparan perkebunan ini begitu luas, sepanjang mata memandang hijau terhampar. Disepanjang aliran sungai sebagai satu-satunya akses kedaerah ini berjejar kelompok – kelompok perumahan sederhana para pekerja. Diselingi juga perkampungan tradisonal penduduk asli. Transportasi semua melalui aliran sungai yang sengaja dibuat (kanal) sampai jauh kepedalaman kebun, ada cabang-cabang sungainya untuk mencapai semua area kebun untuk membawa pupuk, bibit dan para pekerja.

Kantorku tepat didepan dermaga, sebuah kantor termegah, karena satu-satunya kantor dibelantara ini. Bangunan cukup kokoh semua terbuat dari kayu. Halaman dirancang cukup luas, bisa sebagai pendaratan helly, memang difungsikan untuk itu. Kalau big Bos datang selalu pakai Helly.

Karyawan perusahaan terdiri dari banyak latar belakang, semua pendatang. Termasuk aku dibagian logistik, dan seorang lagi dibagian keuangan yang berasal dari daerah yang sama dengan ku, tapi berlainan kabupaten.

“makan yuuk” seseorang memanggilku. Eh taunya Wieka, karyawan keuangan yang berasal dari daerah yang sama dengan ku.

“ hupp, eh Wik, “ panggilan akrab Wieka biasanya di kantor.

“ ya, deh mau makan dimana,Wik?” tanyaku

Wieka hanya merentangkan kedua tangan tanda terserah.

“ Wik, makan di kantin Aboy mau ngak?, soalnya aku kangen ngopy enak juga”

“siiip, no problem” Wieka mengikuti langkahku dari belakang menuju parkiran motor.

Antara aku dan Wieka tidak ada apa –apanya, antara kami hanyalah sebatas sahabat yang selalu ada pada kesempatan tertentu. Dan dia sepertinya biasa saja kepadaku, tidak ada tanda –tanda diantara kami ada yang spesial. Hubungan kami mengalir bagai air saja tak ada halangan melintang.

Bilamana ada kesempatan kami berdua, entah itu jam istirahat atau kumpul-kumpul ditempat umum teman-teman ngumpul. Kami hanya bercerita tentang hal – hal sederhana saja, tentang kerjaan, ulah teman atau membalik memory cerita masalah kampung saja.

Waktu berjalan, sudah dua tahun kami bersama tetapi  antara aku dan Wieka tak pernah bercerita masalah pribadi atau masalah pacar.Pernah suatu ketika aku ingin sekali tahu mengenai Wieka lebih pribadi, tetapi aku tak punya cukup keberanian untuk menanyakan langsung padanya.

Ada acara arisan keluarga se-daerah, yang diadakan di tempat karyawan perusahaan juga. Jaraknya dari tempatku sekitar 12 kilometer. Kami berniat pergi dan berjanji jalan bersama, tentunya Wieka akan nebeng di motorku.

Aku berangkat dari rumah dan menyinggahi Wieka dirumahnya, kebetulan jarak rumah kami terpaut 1 km saja.

Sampai ditempat arisan Wieka langsung bergabung dengan teman-temannya, dan aku bergabung pula dengan kawan-kawanku.

***

“eiii, Riz… “ sapa seseorang.

Aku menoleh, ternyata tante Dina, memanggilku. Tante Dina adalah sahabat tanteku juga dikampung. Dia ikut suaminya yang bekerja sebagai polisi di wilayah perusahaan ini.

Aku menghampiri Tante Dina, dan dia menarik tanganku agak menjauh dari keramaian arisan yang acaranya belum dimulai itu.

“Pa khabarmu Riz?, sudah mantap kerjaan sekarang ya,? Tante dengar kamu juga dipromosikan ya jadi assiten manager” bertubi – tubi juga tante Dina menyerangku dengan pertanyaan.

“Mantap apanya, tante “

“ Ya, kamu kan mau diangkat jadi asistennya Pak Ndi, ya” selidik Tante Dina

“Belum tau tuh, te” jawabku singkat.

“Eh, Riz, bagaimana tuh hubunganmu sama Wieka?”

“Maksud Tante?” jawabku sambil merubah posisi duduk dibangku panjang samping pohon manga.

“Iyaaa, Wieka sering curhat kok sama Tante, kayaknya dia sangat menyukaimu tuh”

Seeer… aku tersentak kaget, masak iya sih Wieka cerita sama Tante Dina? yang bikin aku kaget bukan ceritanya sama Tante Dina, tetapi dia menyukaiku yang bikin aku kaget.

Tante Dina orangnya memang rada suka ngurusin orang kok, tapi dia baik dan suka menolong. Dia mudah akrab dengan semua orang.

“Cerita apa sih Wieka, Tante” Tanyaku.

“Masalah hubungan kalian, kayaknya dia ingin kamu mengutarakan isi hati padanya, dia ragu apakah kebaikanmu padanya sama dengan yang dia rasakan” jelas tante Dina.

“ Kok dia ngak bilang sama aku tante?

“Gila, kau, masak perempuan nembak laki-laki” jawab tante Dina sambil tertawa lebar.

Cerita kami terhenti sampai disitu, acara arisan kumpulan orang sekampung halaman ini dimulai.

Kami pulang bersama, Wieka nebeng lagi dimotorku. Kuantar sampai didepan rumahnya. Sebenarnya bukan rumahnya tetapi merupakan komplek rumah kantor yang diperuntukan untuk karyawan. Selama perjalan pulang tak ada sepatah katapun dariku mengenai perbincangan dengan Tante Dina tadi. Seakan tak terjadi apa-apa.

Tetapi lain dilubuk hatiku, sejujurnya memang aku mencintai Wieka sejak awal bertemu. Tetapi rasa itu aku simpan dalam-dalam, takut nanti merusak hubungan baik kami sebagai sahabat, itu saja.

Setelah aku tahu sebenarnya Wieka juga menyimpan rasa yang sama denganku, barulah hariku terasa tidak tenang, tetapi kerinduan bertemu dengan Wieka semakin tinggi. Ada kebutuhan paling mendasar yang belum terpenuhi kalau tidak bertemu.

Sudah 2 bulan sudah sejak perbincangan dengan Tante Dina, tetapi aku belum juga berani mengungkapkan apa sebenarnya yang ada dilubuk hatiku kepada Wieka. Aku masih takut dan ragu. Walau sikap Wieka memang biasa-biasa saja, tetapi suatu kali kulirik dengan sudut mata tampak bahwa dia memandangku penuh dengan perasaan dan ingin dilindungi.

Tekatku sudah bulat dan mantap untuk segera mengungkapkan isi hati kepada Wieka, suatu pekerjaan terberat yang harus aku lakukan. Aku berniat menyampaikan semua ini pada esok hari Sabtu, karena kami libur, aku berniat mengajaknya belanja ke seberang pulau yang berjarak 20 menit dari tempat kami. Disana lebih ramai dan biasalah orang-orang perusahaan kalau lagi libur pergi kesana untuk belanja tau sekedar menghilangkan stress.

Jam istirahat tiba, karena hari ini Jum;at istirahat jam 11 siang, Seperti biasa Wieka muncul dari dalam kantor menghampiriku agak tergesa-gesa. Aku yang biasa duduk diteras kantor dekat meja security agak kaget.

“Wik,” sapaku

“Riz, aku mau berangkat ke Kantor Pusat nanti habis Jum’atan”

Kantor pusat perusahaan kami terletak di pulau lain, lebih kurang 3 jam naik kapal.

“Acara apa Wik?”

“Nih, ada rapat penting diajak sama bos, dan lainnya ada 3 orang staf juga ikut kok”

Wieka memberi penjelasan seakan aku tidak nyaman kalau dia berangkat hanya dengan Bos saja. Wieka seakan mohon izin dariku

“Lalu pulangnya kapan Wik?” tanyaku

Karena aku sudah niat menyampaikan isi hatiku sebenarnya besok.

“Malamnya selesai rapat langsung pulang kok, Riz, kan pakai boat perusahaan”

“ehhh, iya ya” jawabku

Siang itu kami tak makan bareng, karena aku harus ikut shalat Jum’at. Wieka langsung pulang berkemas karena selesai Jum’atan mereka berangkat.

“Iya deh Wik, kamu hati-hati saja ya, jangan lupa tuh oleh –oleh”  kataku dan kami berpisah. Aku langsung pulang dulu mandi dan seterusnya kemesjid.

***

“ Ya, Alllah Ya Alllah” aku terpekik, seakan langit mau pecah atas teriakanku. Kabar yang kuterima ini ………. Orang-orang perusahaan sibuk dimalam buta ini.

“Boat perusahaan kita tabrakan dilaut, terbakar” itu berita dari orang-orang dikomplek.

Itu kan Boat yang membawa Wieka pulang dari rapat. Ya tuhan, apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak percaya, aku stress. Berulang kali aku tanya orang-orang apa pasti boat perusahaan yang tabrakan dan terbakar. Apa tidak boat lain?. Atau ada boat perusahaan yang satunya lagi? Tetapi fakta ya nyata, memang boat yang ditumpangi Wieka dan teman-teman yang tabrakan, dan semua penumpang belum ditemukan.

Entah bagaimana aku melukiskan diriku saat itu. Aku kesal, aku marah. Marah pada siapa? Kesal sama siapa? Semua sudah kehendak tuhan.

***

Disenja ini, entah senja keberapa aku tetap berada di dermaga ini, mengenang Wieka. Mengenang cintaku terdalam yang belum sempat kulabuhkan padanya. Padanya Wieka matahariku yang telah tenggalam sebelum bersalaman padaku.

Hari-hari yang hambar semenjak Wieka tiada lagi, jasatnya pun tak ditemukan, hilang ditelan bumi. Atau dia sudah berada dialam surge dan menatap pilu juga kepadaku. Ya Allah, damaikanlah perasaan kami walau dalam dunia yang berbeda.

Aku terus dalam kebimbangan dan kerapuhan melalui hari-hari ini. Haruskah aku tetap disini, bekerja disini sementara separuh jiwaku telah luluh? Atau harus kutinggalkan tempat ini dan mencoba menyimpan rapat setiap detil kebersamaanku dengan Wieka? Seorang sahabat dan kekasih yang belum sempat aku tiupkan kata Cinta.

Entah kepada Siapa Cinta ini kutitipkan agar sampai padamu,  betapa aku mencintaimu Wieka.

Entahlah….. tuhan maha tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun