Judul: Quiet,The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking
Penulis: Susan Cain
Penerbit: Crown (24 Januari 2012)
Tebal: 352 Halaman
ISBN: 978-0307352149
Peresensi : Yudo Anggoro, Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB
Apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran kita ketika mendengar kata introvert? Sebagian besar dari kita mungkin akan langsung membayangkan orang-orang yang pendiam, kaku, dingin, serta tidak memiliki inisiatif. Pandangan tersebut saat ini tentu saja dapat dimengerti. Dunia kita saat ini seakan-akan dipenuhi oleh individu-individu yang pandai berbicara, ekspresif, dan senantiasa tampil ke depan. Di berbagai rapat, pertemuan sosial, ataupun acara debat di televisi, orang-orang saling berlomba untuk berbicara, mengeluarkan pendapat, bahkan kalau bisa mengalahkan argumentasi lawan bicaranya. Di tengah realitas dunia yang kita jumpai saat ini, bisa jadi kita akan menganggap sebelah mata pribadi-pribadi introvert yang selalu tertutup dan enggan menampilkan dirinya.
Namun jangan salah, buku ini secara jitu menunjukkan bahwa pandangan tersebut ternyata tidak benar, bahwa selama ini kita terlalu menganggap remeh orang-orang yang introvert. Melalu eksplorasi yang mendalam tentang dunia para introvert, Susan Cain -penulis buku ini- menemukan bahwa ternyata sebagian besar orang kreatif adalah individu yang introvert, ini dikarenakan kelebihan mereka dalam berpikir dan melakukan kontemplasi. Pribadi introvert juga memiliki kemampuan observasi yang lebih kuat dibandingkan orang ekstrovert, dan berbekal kemampuan observasi ini mereka mampu melakukan transformasi diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Cain, mantan pengacara lulusan Harvard Law School, menjelaskan bahwa selama ini secara turun- temurun kita memiliki pandangan bahwa ekstroversi adalah sebuah gambaran sifat ideal manusia. Cain menyebutnya sebagai sebuah extrovert ideal, sebuah kondisi yang semakin menegaskan dominasi orang ekstrovert atas orang introvert. Bagian pertama buku ini banyak memberikan contoh tentang dunia extrovert ideal ini. Dimulai dari transformasi Dale Carnegie dari seorang anak muda yang pemalu menjadi pakar komunikasi publik kelas dunia (halaman 21), motivator terkemuka Tony Robbins yang selalu menyiratkan pentingnya kemampuan salesmanship dan menjadi ekstrovert dalam kehidupan sehari-hari (halaman 42), hingga atmosfer ekstroversi yang senantiasa menaungi kampus Harvard Business School (HBS).
HBS sendiri tentu bukan sebuah sekolah bisnis biasa. Sesuai dengan tujuannya untuk mendidik para pemimpin dunia yang mampu menciptakan perbedaaan, tak terhitung banyaknya pemimpin kelas dunia yang lahir dari HBS. Mulai dari presiden, presiden Bank Dunia, akademisi terkemuka, hingga CEO perusahaan Fortune 500, banyak dari mereka yang lulus dari HBS. Aura yang melingkupi kampus HBS pun senantiasa menyiratkan kepercayaan diri, semangat tinggi, serta semua simbol ekstroversi yang ada. Dalam sebuah kunjungannya ke kampus HBS, Cain bertemu dengan seorang mahasiswa yang mengatakan bahwa hampir mustahil menemukan individu introvert di HBS karena HBS dibangun dengan pondasi ekstroversi. Ekstroversi adalah sebuah norma di HBS, kelas dan status sosial seseorang di HBS ditentukan pada seberapa banyak ia berbicara dan seberapa pandai ia bersosialisasi.
Sistem pengajaran di HBS yang berbasiskan pada studi kasus pun mengharuskan mahasiswa untuk terus bertanya, mengemukakan pendapat, dan berdiskusi baik di dalam kelompok maupun di dalam kelas besar. Bahkan nilai yang diraih mahasiswa juga ditentukan salah satunya dari seberapa besar kontribusi mahasiswa tersebut dalam diskusi dan memberikan pertanyaan. Bagi mahasiswa yang ekstrovert, hal ini tentu saja sangat mudah dilakukan, namun tidak bagi mahasiswa introvert. Mahasiswa introvert hanya akan mengemukakan pendapatnya ketika ia yakin bahwa apa yang ia sampaikan mengandung kebenaran, bukan sekedar spekulasi. Maka hal ini menjadi problematik ketika Quinn Mills, seorang professor kepemimpinan di HBS, berpendapat bahwa metode pengajaran di HBS mengambil asumsi awal bahwa pemimpin adalah pribadi yang vokal (halaman 50).
Namun berlawanan dengan model kepemimpinan ala HBS, ternyata kebanyakan CEO yang efektif justru dipenuhi oleh pribadi-pribadi yang introvert, seperti Charles Schwab; Bill Gates; CEO Sara Lee Brenda Barnes; dan mantan CEO IBM yang legendaris, Lou Gerstner. Bahkan Peter Drucker, sang guru manajemen, menemukan bahwa kebanyakan pemimpin yang efektif justru mereka yang sedikit berbicara serta sedikit memiliki kharisma. Jim Collins, guru manajemen lainnya, juga menemukan fakta bahwa kebanyakan pemimpin bisnis yang berpengaruh adalah mereka yang penuh kerendahan hati, pendiam, namun memiliki tekad yang sangat kuat. Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Adam Grant, professor manajemen di Wharton menemukan bahwa pemimpin ekstrovert akan bekerja efektif jika memiliki bawahan yang pasif, namun pemimpin introvert akan bekerja jauh lebih efektif ketika memimpin bawahan yang proaktif. Kemampuan mendengar dari pemimpin introvert inilah yang lebih dihargai oleh para bawahan dibandingkan dengan ego besar sang pemimpin ekstrovert. Pemimpin dibutuhkan tidak untuk membangun ego pribadinya, namun untuk mengelola institusi yang ia pimpin.
Karena itu, nilai yang bisa kita ambil dari buku ini adalah pentingnya penghargaan atas setiap individu, bagaimanapun sifatnya. Beri kepercayaan yang sama kepada setiap individu untuk mengikuti panggilan jiwanya, sekaligus beri ruang yang cukup bagi mereka untuk berkembang. Di dalam dunia kerja, jangan paksakan untuk mendesain ruang kerja yang terbuka bagi semua orang, yang memaksa setiap individu untuk terus bersosialisasi setiap saat. Biarkan bawahan kita yang introvert untuk menyelesaikan sebuah tantangan secara sendirian atau dalam kelompok kecil, biarkan ia berpikir dan merenung, karena dengan demikian ide-ide yang brilian justru akan mengalir dengan deras.
Di tengah dunia yang penuh gegap gempita saat ini, dengan berbagai anjuran untuk selalu berekspresi dan menampilkan diri ke depan, serta teknologi informasi yang membuat kita dapat “berkicau” dengan bebasnya, maka buku ini tampil sebagai pengingat, bahwa ada sisi lain yang belum sepenuhnya digali namun menyimpan potensi yang begitu hebat. Namun buku ini juga bukan sebuah penegas bahwa menjadi introvert berarti lebih baik dibandingkan menjadi ekstrovert, kesemuanya adalah anugerah Sang Pencipta yang memiliki peran masing-masing dan mesti kita syukuri keberadaannya. Buku ini bagaikan sebuah oase yang menyejukkan, bahwa menjadi pribadi yang introvert juga adalah sebuah berkah.
(Published in MBA ITB Business Review, No. 7, Vol. 3, 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H