Belum lama merayakan hari jadinya yang ke-79, negeri ini sudah mulai dilanda kekalutan politik terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang pelaksanaan pemungutan suaranya akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024. Dari permasalahan revisi undang-undang pilkada yang muncul saat ini, sebenarnya dapat dibagi ke dalam dua bagian, pertama permasalahan mengenai tafsiran batasan umur dalam undang-undang pilkada, dan yang kedua permasalahan ambang batas ketika ingin mengajukan calon kepala daerah. Permasalahan yang akan menjadi konsentrasi tulisan ini adalah permasalahan yang pertama.
Bermula dari uji materil Pasal 4 ayat (1)  Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 9 tahun 2020 terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 yang dilakukan oleh Partai Garuda  pada 22 April 2024. Di dalam pasal 7 Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 dinyatakan bahwa bagi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur harus berusia sekurang-kurangnya 30 tahun, dan bagi Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, serta Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati harus berusia sekurang-kurangnya 25 tahun. Namun dalam pasal PKPU yang dipermasalahkan Partai Garuda terdapat penambahan detail  dalam aturan tersebut. Pasal 4 ayat (1)  PKPU nomor 9 tahun 2020 menyatakan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur harus berusia sekurang-kurangnya 30 tahun, dan bagi Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, serta Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati harus berusia sekurang-kurangnya 25 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon.Â
Penambahan frasa dalam PKPU tersebut dirasa merugikan Partai Garuda. Sehingga Mahkamah Agung (MA) yang berwenang memeriksa dan menguji peraturan di bawah undang-undang mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang menganulir Pasal 4 ayat (1) PKPU nomor 9 tahun 2020, sekaligus memberi tafsiran normatif mengenai batas usia para calon kepala daerah yang dinyatakan terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Alih-alih memperbaiki situasi, keberadaan putusan ini justru menjadi masalah, karena menampilkan norma baru di tengah berlangsungnya proses pemilihan kepala daerah, yang kemudian norma baru ini memberikan ornamen/kesan tidak demokratisnya proses pilkada saat ini.. Putusan ini juga menandakan ketiadaan rumusan detail terkait Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang nomor 10 tahun 2016, sehingga mengakibatkan ambiguitas penafsiran pada pasal tersebut. Sampai pada akhirnya sekelompok mahasiswa mengajukan constitutional review terhadap pasal a quo (pasal terkait) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hingga pada akhirnya MK mengeluarkan Putusan No.70/PUU-XXII/2024, yang mana di dalam putusan tersebut MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 , yang kemudian diperjelas oleh Pasal 4 ayat (1) PKPU sudah berada pada koridor pemaknaan yang semsetinya. Dalam Putusan MK tersebut juga dinyatakan bahwa putusan tersebut tidak bermaksud untuk menjadi ¨tandingan¨ putusan yang telah dikeluarkan MA terkait pasal a quo, melainkan sebagai tafsir konstitusi untuk memberikan pemaknaan terhadap ketentuan norma yang mengandung ketidakpastian hukum.
NUANSA JUDICIAL REVIEW MK DAN MA
Dalam menyusun undang-undang, hal yang paling krusial untuk dilakukan adalah penyelarasan nilai terhadap UUD 1945 sebagai pucuk tertinggi peraturan tertulis. Permasalahan penafsiran undang-undang terhadap UUD 1945 adalah perkara yang cukup complicated, karena aturan-aturan dalam UUD 1945 bersifat normatif yang apabila penafsirannya dilakukan oleh banyak pihak, maka akan timbul ketidak jelasan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang mumpuni dalam menangani permasalahan penafsiran ini, dalam hal ini MK.
Monopoli tanggung jawab yang diemban ini melahirkan kewibawaannya tersendiri bagi MK. Pasal 55 undang-undang MK cukup menggambarkan sisi dominan lembaga tersebut, karena ketika di MA terdapat pengajuan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan undang-undang yang menjadi dasar pengajuan sedang dalam pengujian di MK, maka MA wajib menghentikan pengajuan sampai ada putusan dari MK. Sifat dari putusan MK adalah final, dan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.
Di dalam Putusan MK No.70/PUU-XXII/2024, dikutip pula pendapat dari Jimly Asshiddiqi bahwa MK merupakan satu-satunya lembaga yang memilki kewenangan untuk melakukan penafsiran atau penilaian konstitusionalitas norma (norma abstrak). Walaupun secara struktur kelembagaan MK dan MA sederajat, akan tetapi MA tidak berwenang untuk melakukan tafsir normatif sebagaimana yang dilakukan oleh MK.
MK dan MA sama-sama memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review, akan tetapi nuansa karakter kewenangan dari kedua lembaga tersebut amatlah kental. MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Artinya, MK menilai apakah suatu undang-undang sesuai dengan konstitusi. Karena UUD 1945 adalah dokumen yang relatif singkat dan umum, MK sering kali harus melakukan interpretasi konstitusional yang mendalam. Kondisi ini sering melibatkan tafsiran yang normatif, di mana MK mempertimbangkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan tujuan yang terkandung dalam konstitusi untuk memutuskan apakah suatu UU melanggar atau sesuai dengan UUD 1945.
Sedangkan MA memiliki wewenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya, terhadap undang-undang di atasnya. Di sini MA berfokus pada apakah peraturan yang diuji tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang. Karena sifat undang-undang lebih rinci dan spesifik dibandingkan dengan UUD 1945, sehingga ruang untuk dilakukannya interpretasi oleh MA lebih terbatas. MA cenderung lebih fokus pada konsistensi legal dan penerapan hukum secara tekstual. Sehingga sejatinya, Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang memberikan tafsir normatif terhadap batas usia pasangan calon kepala daerah dapat dikatakan MA telah keluar dari jalurnya.Â