Akhir-akhir ini media sosial tengah diramaikan dengan parodi yang menyindir sinetron-sinetron tanah air. Sinetron-sinetron yang diparodikan tersebut aslinya memiliki tema yang unik futuristik dan visioner, seperti bisnis fotokopi keliling, bengkel keliling, bisnis semangka goreng, sampai orang kena azab.
Di samping itu pula karakter peran dan jalan cerita yang ditampilkan dirasa bertele-tele dan tidak dapat diterima akal sehat orang-orang pada umumnya. Sehingga para netizen dengan kreatif membuat video parodi sinetron-sinetron tersebut dengan cara yang nyleneh, bahkan ada yang sampai menyentuh aspek kesusilaan.
Video parodi tersebut juga disematkan logo suatu stasiun TV yang menyiarkan sinetron terkait, sehingga menstimulus reaksi stasiun TV tersebut. Selaku pemegang hak cipta, stasiun TV tersebut akhirnya mengeluarkan somasi/peringatan yang disebar melalui akun sosial media-nya agar tidak menggunakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti logo stasiun TV dan program acara/film.
Respons tersebut ditanggapi berbagai macam, ada yang setuju ada pula yang tidak. Biasanya ada 2 (dua) respons jika ciptaan/karya digunakan oleh orang lain tanpa izin. Ada yang mempersilakan dan adapula yang tidak mengizinkan.
Orang-orang yang permisif tersebut biasanya menganggap karyanya dapat dikenal khalayak luas jika "di-eksebisi" oleh orang lain, namun adapula yang beralasan jika karyanya tersebut memang didedikasikan untuk orang banyak sehingga orang yang ingin memakai karyanya tidak perlu repot-repot meminta izin maupun membayar royalti.
Bagi orang-orang yang ketat dengan perlindungan karya-nya dapat dimaklumi karena secara alami manusia ingin terlihat berbeda dari yang lainnya, dan apabila sifat beda-nya tersebut "diambil" oleh orang lain maka timbul perasaan tidak nyaman di batinnya. Sehingga bagi pihak luar yang ingin menggunakan karya tersebut perlu mencantumkan/menyebutkan siapa kreator asli-nya, bahkan membayar royalti.
Dalam kebiasaan maupun teori filsafat sekalipun pencantuman identitas kreator awal suatu ciptaan memang diharuskan untuk menghormati sang kreator awal, dan juga agar orang lain mengetahui sumber awal suatu ciptaan tersebut.
Perlindungan HKI yang dilakukan oleh pemilik hak cipta sinetron tersebut sebenarnya tidak dipermasalahkan, sah-sah saja. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta melegalkan hal tersebut karena selain berkaitan dengan aspek manfaat ekonomis, juga menyangkut masalah reputasi/nama baik si pemegang hak.
Namun, konsep HKI dapat menjadikan seseorang terlihat baik dan juga buruk, yang mana nanti akan dijelaskan secara gamblang di bab berikutnya.
PENGARUH FILM DALAM RUANG PUBLIK