Manusia adalah makhluk simbolik, dalam artian manusia cenderung untuk menamai suatu kondisi, situasi, objek, maupun fenomena-fenomena yang ada/terjadi di dalam maupun di luar diri manusia. Tujuannya untuk memberi tanda, atau sekedar memberi pembeda antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya ketika dua fenomena ini dirasakan sama namun memiliki perbedaan. Kita ambil contoh komparasi seperti Undang-Undang dan Keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian dan/atau Lembaga Negara. Keduanya merupakan produk hukum yang sifatnya sama-sama mengatur. Namun dalam perspektif ilmu hukum terdapat perbedaan yang mana Undang-Undang sifatnya harus dipatuhi oleh masyarakat pada umumnya, sedangkan Keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian dan/atau Lembaga Negara sifatnya lebih khusus yaitu mengatur/memerintahkan kepada suatu individu atau kelompok tertentu.
Pada 2010 pernah terjadi perdebatan sengit antara Gayus Lumbun dan Benny K. Harman terkait penggunaan frasa “saksi ahli” pada rapat Pansus (panitia Khusus) angket Bank Century di gedung DPR. Adu mulut ini terjadi karena Benny memanggil saksi yang terdiri dari pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan Hendri Saparini dengan sebutan saksi ahli. Padahal menurut Gayus dalam UU tidak ada yang namanya saksi ahli. [Berita lengkapnya dapat dilihat disini https://news.detik.com/berita/d-1283423/gayus-usir-benny-k-harman-dari-sidang-pansus]
Berdasarkan penelusuran di Wikipedia, istilah “saksi ahli” populer digunakan di negara-negara common law seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Istilah ini juga digunakan dalam sistem hukum Belanda dalam pemeriksaan pidana, yang mana sistem hukum negara tersebut merupakan kiblat sistem hukum di Indonesia. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Belanda bahkan memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi ahli sebagai informasi yang diberikan di pengadilan berdasarkan pemahaman yang didapatkan dari keahlian dan pengetahuan mengenai subjek di mana ia dimintakan pendapat, baik dengan atau tanpa disertai laporan yang dibuat oleh saksi ahli, berdasarkan permintaan pengadilan (Wetboek van Strafvordering 343). [Berita lengkapnya dapat dilihat di https://www.hukumonline.com/berita/a/saksi-ahli-atau-ahli-bersaksi-dalam-perkara-pidana-lt6077bdbc3f394?page=2]
Merujuk pada aturan yang sudah “sepuh” namun masih berlaku sampai saat ini di Indonesia, KUHAP Indonesia mengatur sejumlah alat bukti yang sah antara lain, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Pasal 184). Dapat kita lihat bahwa “saksi” dan “ahli” adalah 2 (dua) pihak yang berbeda. Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan secara jelas bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Selanjutnya pada Pasal 1 angka 27 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian keterangan ahli dijelaskan dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP sebagai keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Adapun dalam KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) juga menjelaskan mengenai macam-macam alat bukti sah dalam suatu perkara perdata, yang mana salah satunya terdapat keterangan saksi. Dalam KUHPer tersebut tidak ditemui makna spesifik mengenai keterangan saksi seperti yang dijelaskan dalam KUHPidana, namun dalam kumpulan pasal-pasal tentang keterangan saksi (Pasal 1895 - 1912 KUHPerdata) menjelaskan secara komprehensif yang kemudian dapat dikonklusikan bahwa yang disebut dengan saksi haruslah pihak yang mengalami dan terkait langsung dengan peristiwa hukum.
Mari kita berhipotesis. Sebelum istilah “saksi” dan “ahli” muncul, mereka adalah pihak yang sama-sama dapat memberikan keterangan dalam persidangan, namun boleh jadi para leluhur merasakan terdapat perbedaan dari pihak pemberi keterangan tersebut yang membuat pihak pemberi keterangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Sehingga para pendahulu menetapakan istilah "saksi" dan "ahli". Penulis tekankan lagi, ini adalah hipotesis belaka yang sifatnya dugaan bila para pendahulu berpikir sebagaimana penjelasan di atas ketika ingin menetapkan taksonomi/pengelompokan pihak-pihak dalam persidangan selain pihak pelaku dan korban (atau dalam perdata pihak penggugat dan tergugat).
4. Pemahaman Tentang Saksi Ahli
Untuk lebih memahami paradigma berpikir dalam menentukan posisi saksi ahli, bisa kita simulasikan pada kasus kecelakaan pesawat terbang. Pihak yang paling bertanggung jawab atas kecelakaan tentu saja pihak maskapai penerbangan yang di dalamnya juga terdapat pegawai teknik yang paham akan kompleksitas unit pesawat terbang, misalnya kepala engineer.
Apabila kepala engineer tersebut dimintai keterangan dalam persidangan, maka pegawai tersebut dapat dikatakan sebagai “saksi ahli”. Mengapa demikian? Karena pegawai tersebut adalah pihak yang memiliki keahlian khusus dalam bidang teknik penerbangan serta “berkontak” langsung dengan pesawat yang mengalami kecelakaan sehingga tahu dan paham karakteristik kompleks dari pesawat tersebut, dan diharapkan saksi ahli tersebut dapat menjelaskan dengan lugas dan lengkap akan pesawat tersebut. Apabila digambarkan, maka infografik-nya akan seperti ini: