Bukanlah pekerjaan mudah untuk mengubah doktrin radikal yang sudah melekat pada diri seseorang. Program Deradikalisasi baru akan berjalan efektif jika mendapatkan penerimaan dari objek sasaran itu sendiri.
Oleh karena itu para pelaku terorisme yang menjadi sasaran dari program Deradikalisasi harus terlebih dahulu disentuh melalui pendekatan humanis, seperti memberikan perhatian atas masalah-masalah keseharian, atau mengalihkan perilaku melalui pemberian modal kewirausahaan.Â
Dan inilah esensi dari program Disengagement.
Selama ini terjadi perdebatan di kalangan para ahli kajian terorisme mengenai program apa yang dianggap lebih efektif dalam upaya penanggulangan para pelaku terorisme.Â
Horgan (2008) misalnya, dalam bukunya Leaving Terrorism Behind, menganggap Deradikalisasi tidak realistis untuk diandalkan dalam penanganan terorisme.
Menurutnya, strategi negara sebaiknya difokuskan pada upaya Disengagement atau pemutusan keterikatan anggota teroris dengan jaringannya, termasuk memutus segala aksesnya terhadap aksi kekerasan.
Namun Angel Rabasa dkk (2010) mengemukakan pendapat yang berbeda. Deradikalisasi dipandang tetap harus menjadi tujuan utama karena akan menghasilkan perubahan yang lebih permanen dan secara signifikan mengurangi kemungkinan terjadinya residivisme.
Akan tetapi, Disengagement juga tetap menjadi bagian penting dari strategi penanggulangan terorisme.
Menurut Rabasa dkk (2010), seseorang bisa saja keluar dari organisasi radikal dan meninggalkan cara-cara kekerasan akibat program pemberian bantuan keuangan atau kewirausahaan oleh pemerintah yang semakin efektif.
Walaupun para pelaku ini untuk sementara waktu dapat meninggalkan organisasi ataupun jaringannya, namun jika mereka masih tetap mendukung ideologi radikal, kedepannya sangat mungkin akan kembali ke dunia terorisme ketika kondisinya berubah.Â
Karena perilaku dapat berubah, sementara tujuan tetap konstan.