Kunci penyelesaian konflik Aswaja dan Salafi adalah dengan menghilangkan duduk permasalahan utamanya, yaitu intoleransi dalam beragama. Untuk itu dibutuhkan peran pihak ketiga yang memiliki otoritas kuat untuk melarang seluruh sikap intoleransi demi menciptakan harmonisasi antar sesama umat Islam dan juga sesama umat beragama. Dalam hal ini, yang paling tepat untuk menjadi pihak ketiga tersebut adalah Pemerintah Aceh.
Langkah penyelesaian konflik Aswaja dan Salafi harus dilakukan dengan memperhatikan seluruh dampak yang akan didapatkan dengan pandangan yang jauh kedepan. Pemerintah Aceh tidak boleh "dipaksa" untuk secara subjektif masuk ke dalam ranah teologis dengan melarang penyebaran faham Wahabi secara total di Aceh. Hal ini akan menjadi sangat riskan apabila dilakukan.
Kita tidak boleh lupa bahwa pusat dari faham Wahabi adalah Kerajaan Saudi Arabia. Kebijakan subjektif semacam ini bisa dibalas dengan kebijakan yang serupa oleh mereka. Contoh akan hal ini sudah terjadi di Suriah, dimana pemerintah Suriah melarang penyebaran faham Wahabi, dan Kerajaan Saudi Arabia membalasnya dengan tidak memberikan izin bagi umat Islam Suriah yang ingin menunaikan ibadah haji.
Pemerintah Aceh harus mengambil langkah-langkah yang lebih objektif seperti membuat sebuah Qanun yang mengatur tentang larangan penyebaran faham dan sikap intoleran. Nantinya, selain berfungsi sebagai dasar hukum bagi aparat keamanan untuk mengambil tindakan kepada setiap kelompok intoleran, Qanun ini juga bisa berfungsi sebagai tameng untuk mencegah berkembangnya faham radikalisme dan terorisme di bumi Aceh yang kita cintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H