Inilah duduk persoalan yang sebenarnya dari konflik Aswaja dan Salafi selama ini, yaitu buah dari adanya sikap intoleransi dalam beragama. Intoleransi dalam beragama memang sangat berbahaya. Karena disamping akan melahirkan gejolak sosial antara sesama umat Islam, intoleransi beragama juga sebenarnya merupakan pondasi bagi lahirnya faham radikalisme dan terorisme.
Solusi Konflik Aswaja dan Salafi di Aceh
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa konflik ini tidak akan mungkin bisa diselesaikan kecuali dengan melarang penyebaran faham Wahabi secara total di Aceh. Namun pendapat ini sepertinya perlu ditinjau ulang. Karena kita tidak bisa menutup mata bahwa para pengikut kelompok Salafi ataupun faham Wahabi di Aceh jumlahnya tidaklah sedikit. Jika hal ini dilakukan, dikhawatirkan akan semakin memperkeruh situasi.
Sebenarnya kelompok Aswaja dan Salafi bisa hidup secara berdampingan dengan harmonis jika masing-masing pihak bisa saling bertoleransi dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah. Karena sejatinya, hal-hal yang selama ini diperselisihkan oleh kedua kelompok merupakan perkara-perkara cabang, bukan pokok perkara dalam Islam.
Pokok perkara didalam Islam adalah beriman bahwa Allah itu Maha Esa, Rabb penguasa alam semesta. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan DIA adalah tempat bergantung segala sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Hanya kepada-NYA kita menyembah, dan hanya kepada-NYA pula kita memohon pertolongan. Allah yang menguasai hari pembalasan, dan tiada sesuatu apapun yang serupa dengan-NYA.
Pokok perkara di dalam Islam adalah kita beriman kepada para malaikat, kitab-kitab, para nabi dan Rasul, Hari Akhir, serta Qadar baik dan buruk.
Pokok perkara di dalam Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat 5 waktu sehari semalam, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat ketika sampai nisab, dan menunaikan ibadah haji bagi yang sudah mampu.
Pokok perkara di dalam Islam adalah kita meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah untuk membawa syariat yang akan menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Seharusnya, selama pokok perkara kita sebagai umat Islam masih sama, maka persoalan-persoalan cabang yang diperselisihkan masih bisa diselesaikan melalui berbagai forum diskusi dan kajian. Terhadap Fir'aun yang sudah menghancurkan pokok perkara karena mengaku sebagai Tuhan saja, Allah SWT masih memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mengingatkan Fir'aun dengan kata-kata yang lemah lembut.
Imam Malik pernah begitu marah ketika di dalam majelis pengajian beliau ada orang yang bertanya permasalahan cabang yang bisa menimbulkan kontroversi tentang bagaimana istiwa-Nya Allah. Beliau menjawab : "Kaifiyahnya tidak dapat dinalar, istiwa' sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah. Dan aku khawatir kamu berada diatas kesesatan". Imam Malik lalu meminta si penanya tersebut agar diusir dari majelis beliau.
Menciptakan harmonisasi antara kelompok Aswaja dan Salafi tidaklah mustahil untuk diwujudkan. Bukti akan hal ini sudah bisa kita saksikan pada sebagian tokoh dari kedua kelompok. Sebut saja misalnya ustadz Abdul Somad yang bersahabat baik dengan ustadz Abdullah Hadrami. Demikian pula Habib Rizieq Syihab yang bersahabat baik dengan ustadz Zaitun Rasmin. Juga ustadz Khalid Basalamah yang sudah menjalin hubungan baik dengan (alm) KH. Arifin Ilham.