Publik Indonesia terperangah malam itu. Ada orang pribumi yang mencoba peruntungan dengan membeli saham mayoritas salah satu klub sepakbola tersohor Eropa, yang bernama Inter Milan. Inter Milan yang punya andil besar dalam merubah kiblat sepakbola modern.
Berlalulah Moratti dengan lesu, rasanya dia tak rela untuk membagi "Sang Kesayangan" nya dengan orang lain yang di rasa publik Italia kurang kompeten untuk menjalankan kendaraan yang seperti sedang kehilangan pengemudinya. Datanglah dengan kepala tegak sang pribumi ini dengan segudang harapan dan ambisi.
Hari demi hari berlalu, rezim baru telah datang. Rezim meng-Indonesia-kan Inter Milan. Dari kultur, manajemen, serta kebijakan finansial. Bagaimana cara  seorang Indonesia untuk berkomunikasi dan berbisnis tercermin dari sang pribumi tersebut. Toh, di negeri kita sendiri tipikal manusia nya seperti "sang pribumi" tersebut kan?
Hasil adalah buah dari proses. Proses adalah buah dari pikiran. Apa yang terjadi di Inter Milan belakangan ini adalah buah pikir dari seorang Indonesia. Indonesia yang serba relatif dan serba pragmatis. Cepat atau lambat, jika Inter Milan tetap di-treatment dengan cara yang sama, niscaya Indonesia yang teramat besar ini bisa terlihat dari contoh kecilnya, yaitu Inter Milan.
Terserah anda, mau menyimpulkan bahwa Indonesia itu indah atau berantakan, karena disini semuanya serba relatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H