Akan tetapi setelah menimbang matang - matang dan diyakinkan oleh putrinya Dyah Phitaloka Citra Resmi, Rombongan Raja Sunda akhirnya sepakat dan berangkat ke Majapahit untuk menghantarkan putrinya yang telah dipinang oleh Raja Majapahit yang tersohor kala itu.
Akan tetapi Pernikahan Politik ini berbeda dengan pemikiran Mahapatih Gajah Mada yang belum berhasil menyempurnakan Sumpah Amukti Palapanya untuk menyatukan Nusantara, sehingga ia memanfaatkan momentum ini sebagai celah untuk mewujudkan ambisinya.
Mahapatih Gajah Mada menawarkan diri kepada Raja Hayam Wuruk untuk menjemput rombongan pengantin Kerajaan Sunda dengan alasan yang logis sehingga mendapatkan titah langsung dari Raja.
Setelah mendapat titah, Gajah Mada pergi dengan pasukannya untuk menyambut rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda yang terdiri dari Raja Linggabuana Wisesa, Permaisuri kerajaan, Dyah Pithaloka Citraresmi dan beberapa punggawa kerajaan beserta prajuritnya.
Ketika kedua rombongan ini bertemu dilapangan bubat, Gajah Mada meminta Raja Linggabuana Wisesa untuk segera menyerahkan Putri Dyah Phitaloka Citraresmi sebagai tanda tunduk Kerajaan Sunda terhadap Kerajaan Majapahit.
Mendengar pernyataan Gajah Mada tersebut Raja Sunda Maharaja Linggabuana Wisesa merasa harga dirinya terinjak - injak sehingga pecahlah Perang Bubat yang lazim kita kenal saat ini.
Karena jumlah kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya seluruh rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda gugur termasuk Raja dan Permaisuri Kerajaan Sunda. Mengetahui ayah dan ibu serta rombongannya dibunuh oleh pasukan Gajah Mada, Putri Dyah Pithaloka Citraresmi mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Terkait penyebab awal mula Perang Bubat ini, beberapa penulis fiksi sejarah ada yang berpendapat bahwa perasaan cinta Gajah Mada terhadap Dyah Pithaloka Citraresmi yang akan dipinang oleh rajanya sendiri menjadi sebab terjadinya perang bubat, Gajah Mada sengaja memperkeruh suasana agar acara pernikahan pujaan hatinya dan sang raja dapat dibatalkan.
Pasca Perang Bubat, kepercayaan Raja Hayam Wuruk terhadap Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada yang telah berjasa besar bagi Kerajaan Majapahit semakin menurun. Hal ini dibuktikan dengan pemberian Hayam Wuruk berupa tanah di Madakaripura (Probolinggo) untuk Gajah Mada, yang dapat diartikan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mempertimbangkan untuk pensiun.
Adapun Maharaja Linggabuana Wisesa yang gugur diberi gelar sebagai "Prabu Wangi" oleh masyarakat sunda untuk mengenang sikap ksatrianya karena telah memperjuangkan harkat dan martabat sunda pada perang bubat.
Konon, peristiwa inilah yang menyebabkan adanya dendam masyarakat sunda sehingga sampai dengan saat ini tidak ada nama jalan yang berbau Majapahit di tatar pasundan.