Mengenal Kawin Suntik atau Inseminasi Buatan
      Kawin suntik merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggantikan istilah inseminasi atau perkawinan buatan (IB). IB dapat diartikan sebagai teknik perkawinan yang tidak secara langsung mempertemukan hewan jantan dan betina, melainkan dengan cara memasukkan benih jantan (semen) ke dalam saluran kelamin betina menggunakan teknik tertentu dengan bantuan manusia dan alat. Semen merupakan cairan yang dihasikan hewan jantan pada saat ejakulasi, di dalamnya mengandung banyak benih jantan (sel spermatozoa) dan cairan atau pasma.
Dalam praktik IB, semen yang diambil dari sekali ejakulasi pejantan dapat digunakan untuk menginseminasi ratusan bahkan ribuan betina, sehingga penerapan IB dianggap sangat efektif dalam rangka peningkatan populasi hewan ternak. Hingga saat ini, di Indonesia sudah beroperasi beberapa Balai IB nasional dan daerah yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, seperti Balai IB Lembang Bandung dan Singosari Malang (skala nasional), serta Balai IB yang ada di Lampung, Sumatera Selatan, Bali dan Kalimantan Selatan (skala daerah). Balai IB bertugas menyediakan semen dari pejantan unggul yang sudah diolah (diberi bahan pengencer, pengawet, dsb), disimpan kondisi beku, dan nantinya disebarkan ke daerah yang menjalankan program IB.
Keuntungan Kawin Suntik pada Hewan Ternak
IB merupakan salah satu teknologi paling penting dalam perbaikan kualitas hewan ternak. Sebagai ilustrasi adalah kemampuan beberapa ekor pejantan unggul dalam program IB untuk ratusan ribu betina per tahun. Penerapan IB pada hewan ternak di Indonesia paling umum dilakukan pada sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan beberapa jenis unggas. Pada hewan non-ternak juga sudah diterapkan meskipun tidak sebanyak pada hewan ternak, misalnya pada kuda, hewan liar seperti rusa dan banteng, juga pada hewan kesayangan seperti anjing dan kucing.
Beberapa keuntungan dari aplikasi teknologi IB (lihat Hafez dan Hafez, 2000) antara lain: (1) penyebaran benih dari pejantan unggul dalam rangka peningkatan jumlah populasi dan mutu genetik hewan, (2) bagian dari program seleksi dan pengendalian penyakit kelamin menular (karena tidak terjadi perkawinan langsung jantan dengan betina); (3) perbaikan manajemen dan efisisensi reproduksi (ada seleksi, sehingga jantan dan/atau betina dengan kesuburan rendah tidak dipertahankan), (4) perkawinan antar-jenis atau antar-ras (misalnya sapi perah dengan pedaging, sapi bali dengan sapi brahman), perkawinan beda lokasi (karena semen tersimpan dalam kemasan mini mudah ditransportasi antar-daerah atau antar-negara), (5) perkawinan antar-generasi (karena semen beku dapat disimpan hingga ratusan tahun dan tetap fertil, sehingga semen beku bisa digunakan untuk menginseminasi generasi berikutnya), (6) memperpanjang pemanfaatan pejantan unggul (karena pejantan yang sudah tua, lumpuh, mati, dsb semennya masih bisa diambil dan disimpan beku untuk digunakan).
Dalam hal penerapan program IB, maka jantan-jantan yang digunakan sebagai penghasil semen adalah yang sudah lulus serangkaian uji dengan berbagai indikator atau parameter, seperti performa fisik bagus, bebas dari berbagai penyakit yang disaratkan (termasuk penyakit oleh sebab infeksi, genetik, dan non-infeksi lainnya), tingkat kualitas semen yang tinggi (konsentrasi dan motilitas tinggi, abnormalitas morfologi rendah, dll), dan libido tinggi. Dalam hal ini adalah lulus uji breeding soundness evaluation (BSE), yaitu serangkaian uji yang dilakukan untuk memprediksi kapasitas reproduksi hewan (lihat Purohit, 2022). Â
Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan IB pada Ternak
      Keberhasil aplikasi teknologi IB pada hewan ternak dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat dikelompok menjadi 3, yaitu faktor jantan (dalam hal ini adalah semen), faktor betina, faktor manusia (petugas IB dan peternak), dan faktor lingkungan. Semua faktor tersebut saling memengaruhi satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi satu kesatuan yang harus diperhatikan.
Kualitas semen sangat menentukan keberhasilannya dalam membuahi benih betina (sel telur), hingga berlanjut terbentuk embrio dan janin. Semen yang berkualitas buruk, seperti konsentrasi dan motilitas rendah, dan abnormalitas tinggi akan menurunkan keberhasilan IB. Kualitas benih betina dan kesehatan tubuh secara umum juga menentukan keberhasilan pembuahan sel telur oleh sel spermatozoa hingga keberhasilan janin bertahan sampai kelahiran. Kondisi-kondisi seperti kurang nutrisi, kegemukan, terjangkit penyakit infeksi, stress, dan kecapekan dari induk betina dapat menurunkan keberhasilan pembuahan hingga kebuntingan. Begitu pula struktur anatomi alat kelamin betina misalnya leher rahim yang cukup bervariasi diantara jenis hewan (misalnya antara sapi dan kambing) juga memengaruhi keberhasil IB.
Dari segi sumberdaya manusia, kecakapan petugas dalam memberikan layanan IB dan peternak dalam mengelola peternakan sangat menetukan keberhasilan IB. Beberapa tindakan petugas, seperti layanan IB tidak bersih bisa menyebabkan masuknya mikroba ke dalam alat kelamin betina (infeksi), pelaksanaan IB yang kasar atau memaksa bisa membuat hewan stress atau luka, proses thawing semen beku yang tidak tepat dapat menurunkan kualitas semen, dan waktu IB yang terlalu cepat atau terlambat dapat berpotensi gagalnya proses pembuahan sel telur oleh spermatozoa. Pada sisi lain, peternak berperan dalam pengaturan pemberian pakan (kecukupan jumah dan kualitas), perawatan perkandangan (sanitasi, sirkulasi udara, kecukupan cahaya matahari, dll), dan kepedulian kesehatan hewan (melapor ke petugas, pengadaan obat dsb). Beberapa parameter lingkungan yang menentukan keberhasilan IB antara lain adalah suhu, kelembaban, pencahayaan, kecukupan oksigen, dan kebersihan kandang dan sekitarnya, yang berkaitan dengan level kenyamanan hewan dan paparan mikroba penyebab penyakit.