Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Anak Mencuri?

16 Desember 2015   08:23 Diperbarui: 16 Desember 2015   08:23 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Ilustrasi, sumber gambar: belajarseo.heck.in"][/caption]

Dalam sepekan terakhir, saya mengikuti dua proses diversi kasus pencurian yang melibatkan pelaku anak (usia di bawah 18 tahun). Sebagai informasi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi hanya dapat dilakukan pada kasus pertama. Secara hukum, proses diversi dikatakan berhasil ketika ada kesepakatan (di luar sanksi pidana) antara korban dan pelaku. Namun jika kita melihat dari aspek yang lebih luas, timbul pertanyaan: mengapa anak-anak tersebut bisa mencuri?

          Setiap kasus menampilkan dinamika perilaku anak yang berbeda. Pada kasus pertama, pelaku pencurian adalah empat orang anak laki-laki (kisaran usia 14-16 tahun). Anak-anak itu terbukti mencuri tabung gas dan alat musik keyboard milik seorang pengusaha kuliner. Mereka mencuri karena ikut-ikutan dengan teman-temannya yang berusia jauh lebih tua.

Sedangkan pada kasus kedua, pelakunya adalah seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang masih duduk di kelas VII. Dia mencuri uang sebesar 4,6 juta rupiah milik ibu asuhnya. Sepintas, anak perempuan ini tampak pendiam dan lugu. Tidak terlihat tanda bahwa dia baru saja mengambil uang orang lain dalam jumlah cukup besar. Ketika saya bertanya uang curian itu digunakan untuk apa, jawabannya membuat saya miris dan sedih. Dia mencuri uang untuk kemudian dibagikan kepada teman-teman sekelasnya. Tujuannya agar dia disukai dan disayangi oleh teman-temannya. Meskipun masuk peringkat lima besar di kelasnya, anak ini kerap mendapat ejekan verbal dari teman-temannya. Sebabnya, dia berasal dari keluarga tidak mampu dan ibunya seorang pembantu rumah tangga. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain, sehingga untuk meneruskan pendidikan, anak perempuan ini diasuh dan tinggal serumah dengan seorang dokter. Uang dokter inilah yang kemudian dicuri olehnya.

Secara psikologis, perilaku mencuri pada anak bisa disebabkan oleh banyak faktor. Ada anak yang mencuri karena terdesak pemenuhan kebutuhan fisiologis (untuk makan misalnya), ada juga pencurian karena ingin mendapatkan perhatian dari orang lain, atau pencurian karena ingin mendapatkan sensasi rasa puas. Pencurian jenis terakhir termasuk dalam kategori kleptomania. Oleh karena itu, orangtua ataupun pihak berwenang sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau konselor anak sebelum memberikan hukuman pada anak. Jika orangtua sembarangan memberikan hukuman, perilaku mencuri bisa jadi makin sering. Misalnya begini, ada orangtua yang mendapati anaknya mencuri uang. Karena marah, orangtua langsung memberikan hukuman pada anaknya. Bukannya berkurang, perilaku mencuri malah semakin menjadi-jadi. Apa sebab? Ternyata motif mencuri si anak memang untuk mendapatkan perhatian orangtuanya, sehingga semakin diberikan hukuman, si anak semakin senang.

Apa yang harus dilakukan agar anak tidak mencuri? Pertama, orangtua harus memberikan keteladanan. Terkesan klise, namun memang itulah cara terbaik. Orangtua yang baik akan menjadi guru sekaligus pahlawan pertama bagi anak. Sebaliknya, jika orangtua bersikap buruk, maka mereka akan jadi racun pertama bagi anak-anaknya. Orangtua tidak boleh memiliki standar ganda dalam memberikan pujian atau hukuman. Standar ganda, terutama untuk perilaku yang keliru, akan membuat anak berpikir bahwa perilaku yang salah bisa mendapatkan toleransi.

Cara kedua adalah dengan memberikan perhatian yang cukup pada anak. Kebutuhan anak tidak hanya fisik semata, namun juga ada kebutuhan emosional yang kerap dilupakan orangtua. Kebutuhan emosional dapat berupa pujian, sentuhan, pelukan, mendengarkan ketika anak bercerita, atau menemani anak bermain. Biasanya, efek dari kurangnya pemenuhan kebutuhan emosional tidak langsung terlihat. Jika orangtua terus mengabaikan kebutuhan emosional anak, akibatnya baru terasa dalam waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun. Dampaknya bisa beragam. Bisa jadi anak terus melawan keinginan orangtua, anak membuat onar di sekolah dan di rumah, atau melakukan tindakan melawan hukum (seperti mencuri, atau menggunakan obat-obatan terlarang). Semua perilaku tersebut berhulu pada kurangnya kasih sayang dan perhatian orangtua terhadap anak.

Lalu apa yang harus dilakukan orangtua jika anak sudah terlanjur mencuri (atau perbuatan melanggar hukum lainnya)? Meskipun sulit, orangtua harus tetap bersikap wajar pada anak. Semakin orangtua marah, anak makin tidak mau terbuka. Ini persis dengan kondisi yang saya temui ketika anak diinterogasi oleh polisi. Saat ada anak yang menjadi tersangka pelanggaran hukum, polisi langsung bertanya dengan hal yang memojokkan anak dan membuat anak makin merasa bersalah. Akibatnya anak tidak mau bercerita. Cobalah untuk menerima anak, tanyakan dulu bagaimana perasaannya. Jika anak merasa tidak nyaman, ajak dulu mereka bermain. Saat anak sudah nyaman, mereka akan bercerita dengan sendirinya. Jika anak sudah mengakui kesalahannya, cobalah untuk memeluk mereka dan sampaikan bahwa perilaku tersebut keliru. Ingat bahwa perilaku mencuri pada anak adalah akibat, sehingga sebabnya kemungkinan besar berasal dari sikap orangtua yang keliru. Jika perilaku mencuri dilakukan berulang kali dan dalam jangka waktu berdekatan, sebaiknya orangtua berkonsultasi dengan psikolog untuk mendiskusikan penanganan psikologis yang tepat.

Pada kasus anak perempuan yang saya sampaikan di awal, dia begitu ingin berkumpul bersama seluruh anggota keluarganya. Saat diminta menggambar, dia membuat cerita bergambar tentang aktivitas bermain bersama keluarga, sesuatu yang tak pernah dia peroleh setelah orangtuanya bercerai. Untungnya, karena kasus tersebut, ayahnya jadi kerap pulang untuk menemui anak-anaknya. Ayahnya pun turut mendampingi si anak selama proses diversi, termasuk membayar kerugian sejumlah uang yang telah dicuri. Jadi, jangan tunggu anak mencuri baru orangtua memberikan kasih sayang pada mereka. Jadilah orangtua yang peka terhadap kebutuhan emosional anak, sebelum perilaku mencuri mengakar dan menjadi bagian kepribadian anak.

@yudikurniawan27.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun