[caption caption="sumber www.kaskus.co.id"][/caption]
Belakangan ini saya mendapatkan beberapa surel dan pesan pribadi yang isinya bernada sama: pertanyaan tentang pilihan jurusan atau bidang pekerjaan untuk sarjana psikologi. Khusus untuk serba-serbi dunia psikologi, saya pernah membahasnya di sini. Nah, untuk pilihan jurusan, saya pernah sedikit menyinggung metodenya di sini. Tapi kali ini akan saya bahas mengapa kita menjatuhkan pilihan pada jurusan tertentu. Ibarat memilih jodoh, salah pilih jurusan bisa membuat kita uring-uringan dan kehilangan semangat hidup, hehe...
Proses penjurusan di SMA sudah dilakukan sejak kelas XI (kelas 2). Pada beberapa sekolah malah sudah dilakukan penjurusan sejak kelas X, contohnya di SMA saya dulu yang memang hanya ada jurusan IPA. Artinya, siswa punya waktu sekitar dua tahun untuk mengenal dan memutuskan kelak akan memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Beberapa SMA favorit sudah difasilitasi dengan guru Bimbingan Karier yang mumpuni dan konsultan pendidikan yang tak kalah handal. Di sisi lain, ada banyak sekali SMA yang belum memiliki fasilitas tersebut. Tapi di zaman internet seperti ini, kesenjangan informasi sebenarnya bisa dipangkas jika siswa mau berselancar menemukan jurusan impiannya.
Nah, proses pengambilan keputusan tentang jurusan lazimnya tidak hanya ditentukan oleh siswa. Ada peran orangtua, yang seringkali lebih besar keinginannya daripada siswa itu sendiri. Pertanyaan klasik yang kerap terdengar: Kalau kamu pilih jurusan X, nanti kamu mau kerja apa? Salahkah jika orangtua bertanya demikian? Tidak, sama sekali tidak salah. Menjadi salah jika orangtua terlalu khawatir dengan prospek jurusan yang dipilih anak, kemudian menuntut anaknya mendaftar di jurusan lain yang dianggap lebih menjanjikan secara karier. Keyakinan orangtua muncul karena melihat beberapa jurusan yang lulusannya punya karier cemerlang dan terhormat di masyarakat. Misalnya saja, anggapan klasik bahwa jurusan kedokteran atau teknik lebih baik daripada jurusan lainnya. Saya yakin, kalau kita bertanya pada dokter atau sarjana teknik yang sukses berkarier, keberhasilan mereka didapat lewat kerja keras dan komitmen yang tinggi terhadap profesi. Artinya, apapun jurusan yang dipilih oleh siswa, asalkan siswa tersebut punya kecintaan dan komitmen terhadap pilihannya, dia pasti bisa sukses berkarier.
Lalu bagaimana cara menghadapi orangtua yang keras dan tidak kenal kompromi terhadap pilihan anaknya? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh anak. Pertama, sekeras-kerasnya orangtua, yakinlah bahwa beliau pasti ingin pilihan terbaik untuk anaknya. Hanya saja, ada orangtua yang tidak bisa menyampaikan hal tersebut dengan baik. Orangtua bersikap keras karena tidak tahu manfaat dari jurusan yang dipilih anaknya. Kalaupun sudah tahu, biasanya orangtua tidak yakin apakah anaknya mampu berkomitmen.
Kedua, mendapatkan kepercayaan dari orangtua memang gampang-gampang susah. Kalau selama ini anaknya mudah diatur dan bisa menunjukkan sikap yang bertanggungjawab, biasanya orangtua akan percaya. Tapi jika selama ini anaknya sering ceroboh, teledor, dan tidak bertanggungjawab, waduh...pasti kepercayaan akan susah diperoleh. Oleh karena itu, cari tahu segala info tentang jurusan yang akan dipilih. Mulai dari lokasinya, biaya kuliahnya, akreditasinya, kualitas alumninya, hingga prospek pekerjaan setelah lulus nanti. Lewat internet, semua aspek tersebut bisa dicari dengan mudah. Kalau biasanya anak jago merayu untuk minta uang jajan, nah sekarang saatnya menerapkan rayuan pilih jurusan dengan data dari internet. Orangtua butuh informasi yang jelas dan akurat. Kalau informasi dari internet masih kurang, mintalah bantuan dari kakak kelas yang mengambil jurusan tersebut. Kamu bisa minta penguatan berdasarkan pengalaman si kakak kelas ini. Sebaiknya pilih kakak kelas yang cukup berhasil di jurusannya ya, supaya lebih meyakinkan orangtua, hehe.
Kalau dua jurus tadi nggak berhasil, lakukan cara ketiga. Buatlah target dan komitmen antara kamu dan orangtua. Cara ini memiliki dua fungsi, untuk membuktikan kedewasaanmu dan menguatkan posisi anak untuk ikut memutuskan. Yakinkan orangtua dengan target yang jelas dan mungkin untuk dicapai. Misalnya, kamu berkomitmen untuk mendapatkan indeks prestasi minimal 3 di tiap semesternya. Atau kalau kamu merasa tidak bisa menguasai seluruh mata kuliah, pilih satu atau dua subbidang yang memang menarik perhatianmu. Misalnya, kamu ingin masuk jurusan psikologi, tapi tidak tertarik dengan konsentrasi psikologi industri dan sosial. Kamu tidak yakin bisa mendapatkan nilai yang bagus di dua subbidang tersebut. Maka raihlah nilai terbaik di bidang psikologi pendidikan atau psikologi klinis, misalnya. Yang penting, kamu membuat target dan berkomitmen untuk memenuhinya. Cara keempat, perbanyaklah berdoa untuk meluluhkan hati orangtua :D
Saya pribadi bersyukur karena orangtua tidak pernah melarang saya untuk memilih jurusan tertentu. Asalkan yakin dan bertanggungjawab, silakan, begitu pesan orangtua saat saya memulai kuliah S1 delapan tahun lalu. Padahal jurusan yang saat itu saya pilih, dan sampai sekarang masih saya tekuni, bukan jurusan yang populer di antara teman-teman seangkatan SMA. Mayoritas teman-teman saya memilih jurusan teknik atau kedokteran. Saya pun memberanikan diri memiliki jurusan psikologi, yang kerap dihubungkan dengan rumah sakit jiwa dan orang-orang bermasalah.
Delapan tahun kemudian, hari ini, saya membuktikan kalau ilmu psikologi tidak hanya berlaku untuk masalah kejiwaan, namun juga untuk memperbaiki kualitas hidup dan memberikan pandangan yang lebih positif terhadap dunia. Pada akhirnya, pekerjaan di masa depan bukan berdasarkan jurusan yang kita pilih, melainkan berasal dari komitmen dan kerja keras kita, selama dan setelah kuliah. Jangan sampai kita memilih dan menjalan sesuatu karena terpaksa. Pilihlah sesuatu dengan keyakinan, lakukan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan, maka Tuhan pun tak segan melimpahkan kebaikan.
Selamat memilih, apa pun itu :)
@yudikurniawan27 Â