Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Sepi Sang Penjaga Dakwah

4 Agustus 2012   22:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:14 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti lazimnya anak-anak di masa 90-an akhir, saya menghabiskan waktu sore hari dengan mengaji Juz Am’ma (Juz 30 dalam Alquran). Pada masa itu (di kota kecil bernama Pematang Reba, Riau), hingga sekitar tahun 2006, kegiatan pengajian untuk anak-anak usia dini hampir terpusat seluruhnya pada sosok bernama buya Abu Hasan. Beliau adalah pendakwah sejati yang tidak mencari keuntungan materi dari jalan dakwah. Pada awal tahun 90-an, banyak orangtua yang mengantarkan anaknya belajar mengaji kepada beliau. Ketika itu beliau mengajar pada malam hari, di rumahnya sendiri. Beliau tidak meminta bayaran sepeser pun dari pelajaran mengaji tersebut. Semuanya tergantung dari orangtua si anak. Ada yang membayar ala kadarnya, ada juga yang tidak membayar.

[caption id="attachment_257637" align="aligncenter" width="300" caption="Almarhum Buya Abu Hasan saat memimpin proses kurban Idul Adha (dok. pribadi)"][/caption]

Sekitar pertengahan dekade 90-an, dibangunlah sebuah surau kecil untuk menampung murid mengaji yang jumlahnya kian bertambah. Saya termasuk murid yang merasakan bangunan awal surau tersebut. Sistem pengajarannya dibagi menjadi dua sesi dalam sehari. Untuk anak-anak yang masih belajar Iqro’ (pelajaran dasar membaca huruf Alquran) dimasukkan ke dalam sesi mengaji di sore hari. Umumnya sesi ini terdiri dari anak-anak usia 6-8 tahun. Kemudian sesi malam untuk yang sudah mahir membaca Alquran, terdiri dari anak-anak usia 10-14 tahun.

Jangan bayangkan surau tempat kami belajar sebagai sebuah bangunan yang layak dan memadai. Dindingnya terbuat dari papan, yang celah-celahnya jadi jalan masuk strategis buat nyamuk bandel di malam hari. Atapnya dari seng karatan yang kalau hujan deras selalu bocor. Tapi nyawa ilmu tidak pernah mati di surau kami. Nyawa surau itu sepenuhnya dipegang oleh buya Abu Hasan.

Meskipun beliau mengajar di kampung (yang bagi sebagian orang kota sering dijadikan bahan cemoohan), saya baru sadar setelah dewasa, ternyata metode mengajar beliau sangat efektif. Sekadar catatan, secara fisik beliau terlihat menakutkan bagi anak-anak. Raut mukanya keras, nyaris tanpa senyuman. Setiap mengajar, beliau selalu membawa sebilah rotan. Jadi bisa dibayangkan kan? Tapi untuk metode mengajar, top markotop.

Beliau sudah menerapkan pola reward-punishment secara total. Contohnya, meskipun beliau menerapkan pembagian kelompok berdasarkan kemampuan belajar murid, ketika ada murid yang kemampuannya dinilai cukup, maka akan dinaikkan ke kelompok dengan dengan materi mengaji yang lebih tinggi. Kemudian, setiap akhir bulan beliau selalu mengadakan lomba menghapal surah pendek Juz Am’ma bagi murid-muridnya. Pemenang lomba tersebut akan menjadi asisten beliau untuk mengajar adik-adik yang baru belajar mengaji.

Tapi untuk masalah hukuman, beliau sangat konsisten dan tidak pernah menerapkan standar ganda. Meskipun si murid sudah jadi asisten beliau, tapi kalau terlambat datang mengaji, tetap saja akan jadi korban pukulan rotan di tangan. Anak beliau juga ada yang mengaji disana. Perlakuannya pun tetap sama. Bahkan si anak juga pernah mendapatkan pukulan rotan karena datang terlambat.

Saat Ramadhan seperti sekarang, hampir tiap malam beliau menjadi penceramah dan imam shalat Tarawih. Beliau juga selalu datang dalam pengajian-pengajian yang diadakan oleh warga kampong. Oya, profesi beliau sebenarnya adalah pegawai negeri sipil di Departemen Agama Kabupaten. Tapi beliau memilih pensiun dini. Alasannya karena beliau ingin fokus mengajar agama bagi anak-anak. Tapi dari desas-desus yang saya dengar, beliau sebenarnya tidak tahan dengan sistem di kantornya. Meskipun kerap dipanggil buya dan menjadi tokoh agama, tapi beliau belum pernah naik haji hingga akhir hayatnya. Padahal sebenarnya jika beliau ingin memanfaatkan posisinya di departemen agama, tentu saja berangkat haji adalah hal yang mudah. Tapi itu tidak pernah beliau lakukan. Barangkali karena sering melihat penyelewengan seperti itu, beliau memilih pensiun dini daripada terjebak dalam sistem yang salah.

Buya Abu Hasan telah dipanggil Sang Khalik sejak tahun 2009 lalu. Sejak itu pula surau kami tidak pernah seperti dulu lagi. Kegiatan pengajian untuk anak-anak tidak serutin ketika beliau masih hidup. Dulu hampir sepanjang tahun surau mungil itu selalu dipenuhi kegiatan keagamaan. Tapi saat ini, dari yang saya tahu (saya sudah 5 tahun merantau), kegiatan rutin hanya ada di bulan Ramadhan. Beliau memang punya anak yang juga pendakwah, tapi kini anaknya tinggal di luar kota. Meski berdakwah dalam jalan sunyi, beliau menebarkan inspirasi bagi lingkungan di sekitarnya. Semoga jiwa buya Abu Hasan selalu hidup dalam surau yang sederhana itu.

Salam inspirasi! @yudikurniawan27

Semarang,15 Ramadhan 1433 H/04 Agustus 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun