[caption id="attachment_382240" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar wilujengdigital.wordpress.com"][/caption]
Setahun belakangan ini saya tidak lagi menjadi pengguna aktif sosial media. Pengguna aktif yang saya maksudkan adalah aktif mem-posting sesuatu dan berinteraksi dengan pengguna sosmed lainnya. Saya memiliki akun di jejaring sosial facebook, twitter, path, dan kompasiana (saya menganggapnya blog yang berjejaring sosial, hehe). Akun yang masih kerap saya buka hanya twitter dan kompasiana. Entah kenapa, facebook dan path terasa terlalu hiruk pikuk. Saya hanya sesekali mem-posting artikel lewat facebook. Semakin lama, pengguna sosial media menjadi terlalu mudah, bahkan cenderung impulsif, mengirimkan sesuatu di akunnya atau akun temannya. Karena merasa tak banyak mendapatkan manfaat, saya memutuskan hibernasi dari facebook dan path. Dan apa yang saya rasakan terkonfirmasi oleh tulisan Bre Redana di KOMPAS edisi Minggu, 3 Mei 2015 lalu.
Bre menulis artikel berjudul Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir. Seperti biasa, dia membahas fenomena sosial dengan bahasa yang lugas dan nyentil di hati. Lunturnya budaya membaca menjadi pokok masalah yang dibahas oleh wartawan senior KOMPAS ini. Bre melihat kemudahan teknologi dan informasi membuat manusia tidak lagi kontemplatif dan peka. Kita menjadi lebih impulsif dalam menanggapi sesuatu. Di sosial media, kita terlalu mudah mengetikkan sesuatu tanpa berpikir. Di kehidupan sehari-hari, kita sering kehilangan fokus karena terbiasa dengan paparan teknologi yang memang mampu bekerja secara multi-tasking. Kini kita hampir kehilangan kemampuan membaca. Dan itu artinya kita akan kehilangan diri sendiri.
Pada dunia kita saat ini, aktivitas membaca menjadi sesuatu yang langka. Jika tidak diselamatkan, kegiatan membaca bisa saja di ambang kepunahan. Agak berlebihan? Saya pikir tidak. Perubahan gaya mahasiswa di kampus menjadi buktinya. Membaca tidak lagi menjadi pilihan pertama mahasiswa di waktu senggangnya. Diskusi pun terasa hambar karena mahasiswa tidak memiliki banyak data untuk berargumentasi. Lebih parah lagi, tugas membaca buku dan jurnal dari dosen menjadi momok bagi banyak mahasiswa, apalagi jika disandingkan dengan tugas menulis makalah ilmiah. Jika mahasiswa yang merupakan garda terdepan ilmu pengetahuan saja malas membaca, lalu bagaimana dengan masyarakat awam?
Saya percaya bahwa membaca membentuk karakter bangsa. Dan jika sekarang banyak orang menghujat pemerintah karena dianggap alpa terhadap janji kampanye, coba tanyakan pada diri sendiri, masih adakah janji yang belum kita lunasi? Di dalam komunitas atau organisasi (terutama yang anggotanya mahasiswa), ada kecenderungan perubahan perilaku antara generasi 7-8 tahun lalu dan generasi saat ini. Penundaan pekerjaan, sering tidak menepati janji yang telah disepakati, tidak fokus, minim argumentasi, dan pemaparan data yang dangkal adalah beberapa perilaku yang melekat terhadap anggotanya. Mungkinkah perilaku tersebut berkorelasi dengan perilaku alpa membaca dan adiksi teknologi? Bisa jadi. Orang yang kecanduan teknologi bukan pendengar yang baik ketika berkomunikasi. Orang yang alpa membaca juga tidak akan terbiasa fokus untuk menyelesaikan sesuatu.
Nicholas Carr dalam bukunya What Internet Is Doing To Our Brains berargumen bahwa kebiasaan berinternet mengubah cara berpikir dan perilaku manusia. Serbuan ratusan informasi secara bersamaan memaksa otak kita terus bergerak dalam ketergesaan dan kehilangan fokus. Otak memang mampu memproses dan memilah jutaan informasi, namun pikiran manusia juga membutuhkan waktu untuk merenungkan sesuatu.
Kebiasaan membaca lewat dunia maya membuat otak manusia lebih menyukai sesuatu yang ringkas dan instan. Kita juga terbiasa membuka banyak jendela baca sekaligus. Disadari atau tidak, kita telah kehilangan waktu untuk berkontemplasi ketika menerima serbuan informasi dari internet. Bertahun-tahun terbiasa dengan ketergesaan dan hiruk pikuk dunia maya tentu akan berdampak pada cara kita menghadapi masalah dan memperlakukan orang lain. Ingat bahwa perilaku yang diulang akan membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang mengendap akan menjadi sifat, lalu berubah menjadi bagian dari kepribadian.
Generasi yang lahir di zaman teknologi analog dan saat ini menjadi pengguna teknologi digital barangkali masih mampu memfilter ketergesaan internet. Setidaknya, generasi tersebut masih merasakan nikmatnya membaca lewat buku asli dan serunya berinteraksi langsung dengan orang lain. Namun bagaimana dengan generasi digital yang sejak usia sangat dini sudah terbiasa membaca lewat perangkat elektronik dan minim interaksi sosial? Akankah mereka menjadi generasi yang alpa membaca? Atau kita pun termasuk dalam generasi alpa membaca? Waspadalah ketika kita mulai enggan membaca buku lebih dari sepuluh halaman, mulai tidak menyukai tulisan yang butuh pemikiran kontemplatif, sering kehilangan fokus, dan kesulitan menentukan prioritas aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Jika memang seperti itu, mungkin kita lupa bagaimana caranya membaca.
Salam literasi
@yudikurniawan27
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H