Tulisan ini saya buat khusus sebagai tanggapan atas artikel mas Benny Rhamdani yang berjudul Penulis Berisiko Tinggi Alami Gangguan Kejiwaan? Tulisan mas Benny sungguh menarik, bahkan judulnya saja sangat memancing rasa ingin tahu pembaca. Artikel tersebut berdasarkan hasil riset yang kesimpulannya dipaparkan lewat bbc news online. Datanya memang cukup mencengangkan (kalau tidak bisa dikatakan agak menakutkan). Ternyata, penulis berisiko tinggi mengalami berbagai gangguan kejiwaan. Ditambah lagi dengan fakta mengenai beberapa penulis kelas dunia yang didiagnosis mengalami gangguan mental. Benarkah aktivitas menulis demikian berisiko?
Saya coba memberikan analisis menggunakan pendekatan psikologi, khususnya paradigma psikoanalisis, humanistik, dan kognitif. Kalau kita perhatikan, artikel di bbc news online lebih menekankan pembahasan tentang aspek kreativitas dan gangguan kejiwaan. Selain profesi penulis, tulisan itu juga membahas gangguan kejiwaan yang dialami oleh penari dan fotografer. Ingat film Black Swan? Saking menghayati posisinya sebagai the swan queen, seorang balerina bernama Nina Sayers (diperankan apik oleh Natalie Portman) begitu terobsesi hingga terganggu emosinya dan kesulitan memisahkan antara peran dan realita kehidupannya.
Lihat juga kasus kematian Heath “Joker” Ledger yang tampaknya kesulitan melepaskan karakter Joker dari dirinya. Dari kalangan musisi dunia banyak juga yang tewas karena obat terlarang atau kasus bunuh diri. Penulis yang depresi atau bunuh diri kemungkinan besar karena terlalu terobsesi dengan karier dan kisah-kisah yang ditulisnya. Saat menulis fiksi, penulis memang harus merasuk dalam karakter dan plot kisah yang ia tuliskan. Kalau kebablasan, si penulis sangat mungkin mengalami distorsi realita. Apa yang salah dengan kreativitas?
Dalam kaca mata psikoanalisis, kreativitas pada dasarnya adalah bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Sigmund Freud, manusia melakukan mekanisme ini dengan tujuan mempertahankan egonya. Saat manusia tak dapat memenuhi keinginannya dalam satu hal, ia akan menyalurkannya pada hal lain (tanpa disadari). Jika positif disebut dengan mekanisme sublimasi (diterima secara sosial). Kalau negatif, namanya displacement(tidak sesuai norma sosial). Kreativitas masuk dalam ranah sublimasi. Coba diingat-ingat, apa motif kita saat berkreativitas, menulis misalnya? Apakah karena stres? Atau karena patah hati?
Paradigma Freud banyak diadopsi dalam psikologi klinis yang memandang semua manusia punya potensi mengalami gangguan kejiwaan. Pada dasarnya proses sublimasi adalah sistem pertahanan ego saat menghadapi masalah, maka hanya ada dua pilihan bagi kita: berusaha menyelesaikan masalah yang sebenarnyaatau laridari masalah.
Begini contohnya: X selalu mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari orang tuanya. Ia sering disakiti secara fisik dan diperlakukan tak adil dibandingkan dengan saudaranya yang lain. X, tentu saja, menginginkan keamanan dan kenyamanan psikologis. Tapi ia tak mendapatkan hal itu. X mulai menumpahkan perasaannya lewat tulisan (proses sublimasi). Lama-kelamaan tulisannya berkembang menjadi novel tentang kisah hidupnya sendiri. X berhasil menjadi penulis terkenal. Pertanyaannya: apakah X berhasil menyelesaikan masalah yang sebenarnya?
Jika X berhasil berdamai dengan keluarganya, maka kemungkinan besar kesehatan mentalnya tetap terjaga. Tapi jika X terus membenci dan lari dari keluarganya, bisa jadi ia akan mengalami depresi. Dia bisa sangat menikmati karakter tokoh dalam tulisannya, sebagai bentuk pelarian dan pencarian kenyaman psikologis. Kalau dibiarkan, depresi bisa berkembang menjadi gangguan bipolar atau bahkan skizofrenia. Jadi, gangguan kejiwaan muncul bukan karena proses menulis (atau proses kreatif), tapi dari tujuan kita saat melakukan proses sublimasi itu.
Dari paradigma psikologi humanistik, menulis (atau aktivitas kreatif lain) bisa jadi merupakan proses aktualisasi diri manusia. Dalam piramida Maslow, aktualisasi diri adalah tahap kebutuhan psikologis tertinggi (sebelum ia merevisi jadi kebutuhan transendensi). Menurut Maslow, aktualisasi diri dilakukan dengan pengerahan segala potensi, minat, dan keyakinan. Dalam bahasa sekarang, bekerja dengan passion.
[caption id="attachment_266601" align="aligncenter" width="300" caption="Piramida Maslow (sumber gambar: mayadewi.wordpress.com)"][/caption]
Masalah timbul saat proses kreatif diletakkan pada pemenuhan kebutuhan yang lebih rendah, kebutuhan harga diri misalnya. Proses kreatif dilakukan semata agar kita dihargai orang lain. Saat muncul kritik, kita malah sentimen dan sakit hati. Saat datang pujian, kita terlalu terbuai. Akibatnya, mental kita pun jadi tak sehat. Nah, dari sisi humanistik juga terlihat bahwa gangguan mental dipengaruhi oleh tujuan kita saat memenuhi kebutuhan psikologis.
Ketiga adalah paradigma psikologi kognitif. Paradigma ini melihat proses kreatif (menulis termasuk di dalamnya) adalah cara manusia untuk memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang baru. Sebuah penelitian terkenal tentang manfaat menulis dilakukan oleh Dr. James Pennebaker. Ia menjadikan proses menulis sebagai terapi penyembuhan trauma. Konsepnya sederhana: Pennebaker melihat tulisan mampu membingkai pikiran manusia secara teratur dan konstruktif. Saat punya masalah, pikiran kita cenderung ruwet tak karuan. Saran Pennebaker, coba tuliskan masalah tersebut di kertas. Kita akan mampu mengurai benang-benang masalah yang tadinya terkesan kusut. Kita seperti melihat masalah dari sisi yang berbeda. Menulis menjadi semacam detoksifikasi pikiran. Lihatlah, ternyata menulis bisa sangat bermanfaat untuk kesehatan mental kita!
Nah, menulis itu menyehatkan, bukan? Soal gangguan kejiwaan, siapa pun punya risiko mengalaminya. Bagi saya, artikel mas Benny Rhamdani sangat positif untuk mengajak kita merenungkan kembali tentang hakikat menulis. Ingat apa tujuan kita saat menulis dan berkreativitas. Apakah ingin lari dari masalah? Mencoba meningkatkan harga diri? Ingin membuktikan eksistensi kita kepada orang lain? Atau sekadar ingin berbagi informasi dan pengalaman?
Selamat berkreativitas dan salam sehat mental!
@yudikurniawan27
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H