Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Resiliensi, Thalassemia, dan Kebangkitan Psikologis

25 April 2011   01:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang bisa membuat anda bangkit dari keterpurukan? Keyakinan, harapan, cinta, atau hal lainnya?

Saya selalu terkesan dengan orang-orang yang mampu bangkit dari ketidakmampuan. Bahkan tak jarang mereka yang pernah “terjatuh” ini bisa melenting lebih auh di atas orang yang, mungkin, hidupnya datar-datar saja. Saya pikir orang-orang besar dan berpengaruh dalam sejarah dunia mengalami fase “bounce back” ini. Nabi Muhammad misalnya, pernah mengalami masa sulit dengan ditinggal wafat oleh orang-orang terdekatnya. Atau para pejuang kemerdekaan seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang puas mengecap rasanya dipenjarakan oleh penjajah. Tapi masa-masa sulit itu justru menjadi pijakan bagi mereka untuk bisa melompat lebih tinggi.

Dalam dunia psikologi, kemampuan tersebut dikenal dengan istilah resiliensi. Orang-orang yang mampu melakukannya disebut dengan individu yang resilien. Pada umumnya, resiliensi bisa dilihat pada orang-orang yang memiliki trauma fisik ataupun psikologis. Resiliensi juga bisa muncul pada seseorang yang menderita penyakit tertentu tapi tetap mampu bermanfaat bagi orang lain. Sepertinya artis Pepeng bisa masuk dalam katagori orang yang resilien.

Nah, karena saya seorang mahasiswa psikologi, maka saya memutuskan untuk meneliti mengenai masalah resiliensi sebagai skripsi. Respondennya adalah penderita thalassemia. Thalassemia ini adalah gangguan genetik yang mengakibatkan pembentukan sel darah merah menjadi tidak sempurna dan rusak. Orang-orang yang saya ambil sebagai responden adalah penderita thalassemia di Yogyakarta yang bekerja di sela-sela waktu pengobatan mereka. Saya hanya ingin mengetahui dua hal: Faktor apa saja yang bisa membuat mereka resilien dan bagaimana proses resiliensi itu dapat terbentuk. Makanya saya menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode penelitian.

Hasilnya, saya mendapatkan bahwa kedua responden bisa bangkit dari kerentanan fisik yang mereka alami. Intinya, mereka tidak merasa berbeda dari orang lain sehingga mereka juga punya mimpi dan cita-cita. Ternyata, akar dari keyakinan dan mimpi mereka adalah trust. Mereka mendapatkan kepercayaan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Mereka juga diterima apa adanya oleh keluarga sehingga mereka tidak merasa berbeda. Akhirnya trust tersebut saya tempatkan sebagai faktor kunci penentu resiliensi.

Setiap manusia pasti memiliki masalah. Seringkali manusia juga jatuh ke dalam masalahnya. Saya yakin setiap orang yang jatuh pasti bisa bangkit dengan diterima dan diberikan kepercayaan oleh lingkungannya. Tapi, untuk membuat Indonesia menjadi bangsa yang resilien (mampu bangkit dari keterpurukan), kepercayaan itu harus kita letakkan pada siapa? Hmm, mungkin kita harus percaya dulu kepada diri sendiri. Baru kita bisa mempercayai orang lain.

Salam sukses!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun