Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Risiko Bunuh Diri dan Stigma yang Menghantui Kita

10 Oktober 2019   12:41 Diperbarui: 10 September 2024   10:54 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.suicidepreventionaust.org/world-suicide-prevention-day/Input sumber gambar

Data dari International for Health Metrics and Evaluation menunjukkan tingkat kasus kematian karena bunuh diri di Indonesia pada rentang waktu 2015-2017 berjumlah 8,09 orang dalam 100.000 penduduk (IHME, 2019). 

Informasi mengenai kasus bunuh diri yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2015 menunjukkan Jawa Tengah sebagai provinsi dengan kasus bunuh diri tertinggi di Indonesia dengan 331 kasus (BPS, 2016).  

Data tersebut patut menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan untuk merumuskan kegiatan/program yang dapat memberikan edukasi ke masyarakat awam terkait deteksi dini problem kejiwaan dan risiko bunuh diri.

Pada beberapa kasus depresi yang penulis tangani, klien yang memiliki ide bunuh diri selalu berpikiran buruk mengenai masa depannya. Mereka berusaha melukai diri dengan beragam alat. Beberapa ada yang terluka, tetapi juga ada yang gagal. Ada kesamaan menarik pada kasus mereka yang gagal melukai diri. 

Mereka sama-sama disadarkan oleh kehadiran orang lain yang memanggil namanya. Ada yang ditelepon oleh temannya dan ada juga yang diajak oleh temannya untuk jalan bersama. Seketika itu muncul kesadaran bahwa kehadiran mereka masih dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan dibutuhkan dan dipercaya menjadi penting sekali untuk mengurangi ide bunuh diri pada orang yang depresif.

Proses munculnya gangguan kejiwaan dapat dianalogikan seperti balon yang meletus. Udara yang pelan-pelan mengisi ruang di dalam balon seperti stres yang tidak diselesaikan. Jika masalah dibiarkan berlarut, suatu saat akan tiba pada titik jenuhnya. 

Bila demikian, hal sepele pun dapat memicu gangguan psikologi. Balon yang sudah dipenuhi udara dan mengembang terlalu besar, disentuh sedikit dengan jari pun akan meletus. Problem emosi yang mencapai titik jenuh berisiko tinggi menjadi pemicu gangguan kejiwaan dan meningkatkan risiko bunuh diri. Bunuh diri dapat dicegah salah satunya lewat deteksi dini dan kepekaan untuk mengenali perubahan emosi dan perilaku orang di sekitar kita.

Deteksi Dini Risiko Bunuh Diri

            Ada beberapa gejala yang dapat dideteksi oleh awam terkait risiko bunuh diri (APA, 2019). Gejala-gejala tersebut adalah:

  • Berbicara mengenai ide bunuh diri
  • Punya masalah dalam pola makan dan tidur
  • Menunjukkan perubahan perilaku yang drastis
  • Menarik diri dari aktivitas sosial
  • Hilang minat untuk sekolah, bekerja, dan melakukan hobi
  • Ada indikasi menyiapkan surat wasiat
  • Pernah ada percobaan bunuh diri sebelumnya
  • Menyerahkan kepemilikan barang-barang berharga ke orang lain
  • Sering melakukan perilaku berisiko yang sebenarnya tidak perlu
  • Pernah kehilangan sesuatu yang amat dicintai (orang/hewan peliharaan/barang)
  • Terobsesi pada kematian dan rasa sakit
  • Kehilangan minat untuk merawat diri, dan
  • Penggunaan alkohol dan narkotika yang meningkat

Bila Anda menemukan satu atau lebih dari gejala tersebut pada orang terdekat, segera lakukan dukungan psikologis awal dengan prinsip 3 L (Look, Listen, Link). Cermati kondisinya (look), dengarkan masalahnya (listen), dan rujuklah kepada profesional (psikolog/psikiater) bila dibutuhkan (link). 

Lakukan mulai dari diri sendiri dan orang terdekat kita. Ancaman kesehatan mental itu nyata. Mari bersama kita hilangkan stigma terhadap problem kesehatan mental. Salam sehat jiwa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun