[caption id="attachment_240760" align="alignleft" width="300" caption="doodle google untuk hari wanita sedunia (sumber gambar: http://sidomi.com/168252/hari-wanita-sedunia-2013/)"][/caption] Hari ini, 8 Maret, diperingati sebagai Hari Wanita Sedunia (Internationa Women’s Day). Cikal bakal peringatan ini dimulai pada awal abad ke-20, ketika industri menjadi tren dunia, terutama di negara-negara barat. Banyak wanita menjadi pekerja, tapi mereka tak mendapatkan perlakuan dan upah yang layak. Ketimpangan ini membuat wanita bersatu dan bergerak menyuarakan keadilan (dibantu dengan kebangkitan gerakan feminisme pada dekade 1960-an). Dalam lingkungan keluarga, wanita juga kerap menjadi korban kekerasan suami. Kasus terbaru adalah seorang wanita yang dimutilasi oleh suaminya sendiri dan ia membuang potongan tubuh istrinya di pinggir tol.
Berbicara masalah sosial yang lazim terjadi pada wanita, biasanya tak jauh dari kesetaraan peran gender. Bagi saya, pria dan wanita bukan seperti dua kompetitor yang bersaing memperebutkan sebuah posisi. Kodratnya, wanita melengkapi pria, begitu pula sebaliknya. Tapi sistem sosial membuat peran dan fungsi itu menjadi timpang. Dalam tulisan ini, saya melihat peran wanita melalui perspektif pria dan saya akan membahas bagaimana persepsi sosial itu dibentuk dari keluarga.
Berdasarkan pengalaman, bagaimana pria menilai dan memperlakukan wanita sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam keluarganya. Bagaimana seorang suami memperlakukan istri (dan sebaliknya), itulah pola hubungan yang pasti diadaptasi oleh anak-anak mereka. Oleh seorang pakar psikologi bernama Albert Bandura, proses tersebut disebut dengan modeling. Keluarga, dalam hal ini orang tua, memiliki peran vital dalam membentuk keyakinan dan karakter kepribadian anak. Sedangkan anak memposisikan dirinya sebagai peniru ulung.
Saya punya seorang teman yang hobinya gonta ganti pacar. Ia tak pernah mau berkomitmen pada satu wanita. Lalu apa alasannya melakukan hal itu? Awalnya dia bilang karena mudah bosan. Tapi setelah digali, ternyata sikapnya berasal dari model hubungan orang tua di rumah. Ia beberapa kali melihat ayahnya selingkuh dengan wanita lain. Sejak itu, ia menilai wanita hanya sebagai objek permainan dan kesenangan saja. Persepsi terhadap hubungan interpersonal memang bisa berubah, tapi pengaruh terbesar tetap berasal dari pola hubungan dalam keluarga.
Kalau saya perhatikan, satu hal yang sangat sulit dilakukan pria tapi justru diharapkan oleh wanita adalah menjadi pendengar yang baik. Pria pada dasarnya memiliki ego yang tinggi dan menyukai kompetisi. Hampir semua hal dalam hidup ini, bagi pria, adalah kompetisi. Bahkan, pria sering menganggap wanita sebagai kompetitor. Sifat ini membuat pria susah menjadi pendengar, tapi malah ingin selalu didengarkan. Biasanya kondisi ini kerap memicu pertengkaran dalam hubungan pria dan wanita.
Saya selalu percaya bahwa keluarga yang sehat adalah awal dari bangsa bermartabat. Meski pada akhirnya seorang anak tumbuh dewasa dan bersinggungan dengan bermacam perilaku manusia, nilai-nilai dari keluarga tetap menjadi pegangan utama dalam menjalani kehidupan. Sangat tak bijak ketika suami membebankan seluruh porsi pengasuhan anak kepada istri. Julia Wood, pakar komunikasi, dalam bukunya yang berjudul Interpersonal Communication memprediksi bahwa di abad ke-21, suami istri menjalankan berbagai peran secara simultan. Peran domestik dan peran publik tak lagi dijalankan secara kaku. Suami bisa saja mengasuh bayi dan menyiapkan sarapan selagi istri masih di luar rumah. Jika dianalogikan dengan produksi sebuah film, suami istri bergantian menjadi produser dan sutradara bagi anak-anak mereka.
Wanita hebat mempersiapkan generasi dahsyat! Salam hormat untuk semua wanita yang telah menebarkan cinta, pengabdian, dan kedamaian di dunia ini.
Selamat hari wanita sedunia!
@yudikurniawan27
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H