Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angin Lereng Merapi (Bagian 1)

19 Mei 2013   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:20 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku baru sadar. Telapak tangan kananku terasa licin dan basah oleh air mata. Perlahan kuletakkan ponsel di sudut meja. Aku beranjak ke depan cermin. Mataku merah, entah karena menangis atau menahan amarah. Memoriku kembali pada waktu beberapa menit silam.

“Kamu ini ngeyelan ya! Sudah berapa kali Ibu bilang, kamu nggak usah lagi ikut mengajar anak-anak itu. Lha, sekarang malah mau mengajar di Merapi. Kamu ini maunya apa tho nduk?”

“Ibu, Nuri cuma mau membantu anak-anak di pengungsian. Kasihan mereka tidak bisa sekolah. Lagipula aktivitas ini nggak mengganggu kuliah Nuri, kok.”

“Ya bagaimana mau mengganggu, wong kamu sudah nggak ada kuliah lagi kan. Kamu kasihan sama anak-anak itu, tapi ndak kasihan sama diri kamu sendiri. Skripsimu itu mbok dikerjain tho. Ini sudah hampir empat semester ndak rampung-rampung.”

Aku terdiam. Aku salah, tapi kesalahanku berawal dari kehendak ibu yang memaksaku kuliah di jurusan akuntansi. Padahal sejak lama aku bercita-cita menjadi psikolog.

“Kamu itu maunya apa tho nduk? Disuruh kuliah di akuntansi, kerjaanmu keluyuran ngajar sana ngajar sini. Ibu di sini capek nduk ngasih biaya kuliah buatmu.”

“Bu, maafkan Nuri ya. Nuri janji, semester depan pasti skripsinya kelar. Tapi Ibu kan tahu, dari dulu Nuri nggak suka belajar akuntansi. Nuri ingin mengajar anak-anak. Makanya, Nuri ingin jadi psikolog pendidikan , Bu. Seperti Kak Seto.”

Wis wis. Bosen Ibu dengerin alasan kamu. Kalaujadi psikolog, kamu mau kerja di mana tho? Lha kalau jadi akuntan, kamu bisa kerja di bank atau kerja di perusahaan gede.”

“Bu, sampai kapanpun Nuri nggak mau jadi akuntan, apalagi kerja di bank.” Suaraku mulai meninggi.

Wis, Ibu nggak mau tahu. Ibu capek biayai kuliahmu, semester depan kalau masih nggak rampung, kamu balik saja ke Solo. Biar Ibu jodohin sama anaknya Pakde Karno.”

“Bu, tolong dengarkan Nuri…”

Tut…tut…tut… Suara telepon di seberang terputus.

*****

Ada yang mengetuk pintu kamarku. Masih dengan mata sembab, aku meraih gagang pintu. Ternyata Dewi, temanku yang juga pengajar anak-anak pengungsi Merapi.

“Astaga, Dewi. Maaf, aku lupa kalau kamu dari tadi nungguin di teras ya”

“Ri, kamu habis nangis? Matamu kok merah gitu?” Dewi mengambil tisu dari dalam tasnya.

“Eh, nggak usah, Wi. Aku ada tisu, kok,”

Sambil menyeka mata yang sembab, aku memperhatikan wajah Dewi yang penasaran menanti jawabanku. “Biasalah, Wi. Masalah dengan ibuku. Seperti yang dulu pernah aku ceritakan sama kamu. Yuk, kita berangkat.”

“Kamu beneran nggak apa-apa? Kalau lagi nggak enak badan, kamu istirahat di kos dulu aja.”

“Segitunya kamu. I’m fine, okay. Ayo, Wi. Kasihan anak-anak sudah nungguin kita.”

Aku menarik tangan Dewi ke arah motornya.

Sleman, Yogyakarta, 27 Oktober 2010

Hari beranjak siang, tetapi langit masih kelabu. Debu bercampur abu beterbangan di mana-mana. Di beberapa persimpangan, terlihat sukarelawan membagikan masker pada pengendara yang lewat. Entah sudah berapa kali aku melihat mobil ambulans lalu lalang di Jalan Kaliurang. Satu dua mobil berjenis 4 wheel-drive melintas sembari menyerukan agar warga tetap tenang dan tidak panik.

Merapi batuk lagi. Setelah empat tahun berdiam diri, tadi malam Merapi kembali menyapa warga Jogja dengan letusan yang cukup kuat. Diperkirakan melebihi letusan terakhir pada 2006 silam.

“Wi, hati-hati lho. Aspalnya licin, banyak abu Merapi,” Aku mengingatkan Dewi yang mengendarai motor.

“Iya nih. Belum pernah aku lihat Jogja sekelabu ini. Sedih banget ya.”

Jogja yang biasanya dipenuhi keceriaan, kini dirundung duka yang mendalam.

“Eh Wi. Kira-kira ada berapa anak nih yang mesti kita dampingi?”

“Wah kayaknya banyak deh. Dari info yang aku dapat di kampus, warga di dusun Kinahrejo mengungsi semua. Jadi, bisa aja kita mendampingi puluhan anak gitu.”

“Sip, nggak masalah. Aku udah nyiapin banyak permainan kok.”

Sejujurnya, aku masih teringat percakapan dengan ibu tadi pagi. Aku tahu, menjauh dari skripsi bukan sebuah solusi. Tapi, mengajar dan bermain dengan anak-anak, inilah dunia yang dapat membuatku bahagia. Bersama mereka, aku merasa berharga dan menjadi diriku sendiri. Tak seperti ketika aku berada di kelas, memperhatikan dosen yang berbusa-busa menjelaskan pembukuan dan buku besar akuntansi. Tak satupun yang masuk di kepalaku. Tapi, aku tak dapat menolak keinginan ibu.

Sejak ayah meninggal, ibu banting tulang demi aku. Ibu ingin aku sukses. Menurut ibu, orang yang sukses itu harus paham ilmu ekonomi dan bekerja di perusahaan besar. Jadilah aku dipaksa kuliah di jurusan akuntansi. Karena bersikeras ingin masuk psikologi, ibu mempersilahkanku mengambil dua pilihan. Tak dinyana, aku malah lolos di jurusan akuntansi. Padahal ketika tes, aku sengaja mengisi soal dengan jawaban yang salah. Sejak saat itu hingga lima tahun kemudian, tak ada satupun ilmu akuntansi yang meresap di otakku.

Lamunanku buyar ketika masuk ke jalanan sepi yang berlubang.

“Wi, kok jalan ini asing ya rasanya?”

“Ah kamu. Lima tahun di Jogja, masa’ kamu nggak pernah lewat sini sih? Ini kan jalan alternatif menuju Kaliurang.”

“Hei, please ya, jangan nyebut-nyebut lima tahun dong. Berasa tua nih aku”

Kami berpapasan dengan beberapa mobil pengangkut ternak. Tepat di depan balai desa Kepuharjo, kami terjebak di tengah kemacetan mobil yang ternyata membawa logistik untuk pengungsi Merapi.

Perlahan sembari mengikuti mobil logistik, kami akhirnya tiba di pengungsian Kepuharjo. Aku turun dari motor. Meski di pengungsian, aku tak melihat gurat kesedihan warga di sini. Sepertinya bagi mereka, letusan Merapi adalah siklus alam yang memang seharusnya terjadi.

“Ri, ayo buruan! Kita ke tenda yang ujung. Anak-anaknya sudah pada nungguin tuh,”

“Siap. I’m coming!”

Aku masuk ke dalam tenda berwarna hijau tentara yang berukuran sekitar 6x6 meter. Ternyata anak-anak di sana sedang asyik menggambar sambil didampingi seorang pria.

Aku menepuk pundak Dewi,“Wi, itu siapa?”

“Aku juga nggak kenal tuh. Kalau dari seragamnya sih, sepertinya dia anggota tim SAR deh.”

Melihat postur tubuhnya, pria itu sama sekali tak punya potongan sebagai guru anak-anak. Badannya tidak terlalu tinggi, tapi kekar berisi. Garis mukanya tegas, dengan beberapa bekas luka di kening. Mirip sekali dengan Rambo. Aku mendekat ke arahnya.

”Selamat siang, Mas. Sudah lama mengajar di sini?”

“Eh…oh… Mbak yang seharusnya mengajar di sini ya? Maaf ya, waktunya aku ambil sebentar. Kasihan anak-anak ini sudah nggak sabaran mau belajar. Ya akhirnya aku masuk saja, terus mereka aku berikan buku gambar. Syukurlah, Mbak sudah datang.”

“Wah, tidak apa-apa, Mas. Justru aku yang harus berterimakasih karena sudah dibantuin. Ngomong-ngomong, mas relawan di sini juga?”

“Iya Mbak, aku baru saja tiba tadi pagi. Sebelumnya aku ikut evakuasi korban banjir di Bandung. Kemarin malam tim SAR Jogja menghubungiku, katanya Merapi meletus dan butuh banyak bantuan logistik.”

“Jadi, Mas ini tim SAR ya? Wah, keren banget! Oya, kita belum kenalan. Namaku Nuri.” Aku mengulurkan tangan padanya.

Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak di depan tenda.

“Raam, cepat ke pos! Ada logistik yang mesti disalurkan!”

Belum sempat memperkenalkan namanya, pria itu langsung berlari keluar tenda.

“Maaf, Mbak. Aku harus balik ke pos. Ada logistik tambahan yang mesti disalurkan. Sampai jumpa!”

Aku tersenyum dan melambaikan tangan padanya.

“Wi, kira-kira siapa ya namanya?”

“Hmm…Kalau dari panggilan temannya tadi, mungkin namanya Rama, Ramadhan, atau Bram.”

Dewi tiba-tiba menepuk pundakku, “Hei! Kok malah jadi mikirin nama dia sih? Ayo, keluarin isi tasmu. Kasihan nih adik-adiknya udah kita cuekin.”

Aku tertawa sambil tetap menyisakan satu ruang di kepalaku untuk memikirkan si pria Rambo tadi. Entah siapa namanya, tapi ia sungguh baik hati.

Bersambung…

@yudikurniawan27

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun