Mohon tunggu...
Yudi Kresnasurya
Yudi Kresnasurya Mohon Tunggu... Lainnya - PRIBADI BIASA

BERSYUKURLAH MAKA ENGKAU BAHAGIA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perbedaan Penilaian adalah Manusiawi

15 Desember 2020   13:45 Diperbarui: 15 Desember 2020   13:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar penggalan ceramah dari Gus Baha (KH. Bahaudin Nur Salim).  Ceramah yang saya sukai melalui you tube memang berupa penggalan-penggalan, tetapi penggalan-penggalannya pas, tidak merubah isi dan makna yang ada. Saya memang lebih menyukai mendengarkan ceramah yang tidak terlalu panjang, yaaa  sekitar 15 -- 20 menit.

Ceramah yang disampaikan oleh Gus Baha selalu menarik dan tidak monoton. Apalagi gaya beliau sangat kalem dan diselingi dengan humor -- humor tanpa menghilangkan nilai-nilai pengajian. Saya juga sering mendengarkan ceramah -- ceramah dari yang lain, ada yang keras, ada yang lembut, ada yang lucu, karena memang semua ada porsinya masing -- masing, yang penting tidak mencaci maki. Khusus Gus Baha ceramah yang disampaikan selalu menarik karena beliau memang sangat alim dan menguasai berbagai ilmu mulai al-qur'an, hadist, fiqh dan lain -- lain. Bahkan Gus Baha disebut sebagai Manusia Qur'an oleh Ustadz Adi Hidayat. Keutamaan dan kelimuan Gus Baha juga sangat diakui oleh berbagai ulama.

Kembali ke tema tulsan tentang sifat perbedaan penilaian. Menurut  pengajian Gus Baha yang saya tangkap, (mohon maaf kalau saya salah mengartikan), sebenarnya orang pelit itu jangan terlalu dipikirkan karena sifat pelit seseorang adalah hanya penilaian dari sebagian orang saja. Orang yang mengatakan orang lain pelit karena orang tersebut ada maunya. Misal si A mengatakan si B pelit, karena si A memang ada maunya terhadap si B. Kalau ditanyakan kepada si C atau si D yang memang tidak ada keperluan kepada si B, apakah si B pelit ? belum tentu jawabannya pelit. Jadi sebenarnya penilaian seseorang kepada orang lain belum tentu sama dengan penilaian dari orang yang lainnya lagi. Sifat pelit yang disematkan pada seseorang karena ada keperluan yang diinginkan pada orang tersebut. Bahkan bisa jadi seseorang yang melabeli seseorang pelit sesungguhnya adalah orang yang serakah. Misal si A melabeli si B pelit karena kemauan si A  tidak diberi oleh si B, bisa jadi  si A sebenarnya sudah sering diberi atau diberi seperlunya, namun karena mengganggap tidak cukup atau kurang maka meminta lagi, lalu karena tidak diberi oleh si B maka si A mencap si B sebagai orang pelit.

Contoh lagi tentang perbedaan penialian. Suatu hari si A berpapasan dengan si B, namun si B ternyata tidak menyapa si A. Prasangka si A kepada si B adalah si B sudah menjadi orang sombong. Kenapa demikian ? karena si A mempunyai maksud kepada si B tetapi si B tidak menanggapi sesuai keinginan si A. Apakah kemudian si C, si D atau yang lain yang tidak mengenal kepada si B menganggap si B orang sombong ? belum tentu. Hal ini karena si C, si D atau yang lainnya tidak ada maksud kepada si B.

Sudut pandang seperti ini sebenarnya banyak terjadi di masyarakat dan merupakan hal yang wajar-wajar saja. Namun kemudian dibuat serius karena orang yang melabeli orang lain pelit atau sombong kemudian menyebarluaskan penilaiannya tersebut kepada orang banyak dengan maksud menyetujui penilaiannya. Lebih serius lagi ternyata penilaian-penilaian yang bernilai negatif banyak diminati oleh orang-orang. Jadilah muncul bibit perselisihan dan permusuhan.

Begitu juga penilaian sebagian masyarakat kepada pemerintah dimana sebagian masyarakat menilai pemerintah tidak bisa mengemban amanah memajukan negeri dan bangsa. Namun apakah semua masyarakat mempunyai penilaian yang sama ? tentu tidak. Sebagian masyarakat yang menilai pemerintah tidak maksimal kinerjanya adalah masyarakat yang mempunyai harapan tinggi dan yang mempunyai kepentingan (ada maunya) kepada pemerintah. Bagi mereka yang tidak menilai negatif tetap ada harapan kepada pemerintah dan tetap ada kepentingan (ada maunya) juga tetapi tidak sebesar yang menilai negatif atau kepentingan mereka sudah ada yang tercukupi.

Bagaimanapun juga penilaian dari orang lain tetap diperlukan untuk mengetahui posisi diri yang pasti. Penilaian positif atau negatif sama -- sama bermanfaat  bila diperuntukkan untuk kebaikan. Namun akan jadi masalah jika hanya menilai sisi negatif saja kenudia diumbar ke publik dengan menutupi kebaikan ataupun sebaliknya mengumbar semua kebaikan dengan maksud tak baik sambil mengelak dari semua perbuatan negatif yang ada.

Jadi berilah penilaian berimbang, tidak mudah terpengaruh dengan penilaian orang lain. Semoga hidup kita bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun