Mohon tunggu...
Yudi Kita
Yudi Kita Mohon Tunggu... Wiraswasta - My life is a journey

Menulis adalah jalan cerita hidup untuk mengabadikan pikiran, pengalaman dan gagasan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar pada Cerita Film Van Der Wijk

23 September 2016   18:50 Diperbarui: 23 September 2016   19:05 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk merupakan film yang diadaptasi dari novel berjudul yang sama, karangan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan nama Buya Hamka, Novel yang sudah dirilis sejak tahun 1938 tersebut baru kemudian di film kan pada tahun 2013 dengan disutradai oleh Sunil Soraya. Film maupun novel yang mengisahkan tentang perbedaan latar belakang social yang menyebabkan kemudian menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga kematian menjemput Hayati dengan tenggelamnya kapal Van Der Wijk yang sedang berlayar dari Surabaya menuju Padang tanah kelahiran Hayati. Film yang dibintangi oleh Pevita (Hayati), Herjunot Ali (Zainuddin), Reza Rahadian (Azis) dan Randy Danistha (Muluk) merupakan karya termahal yang pernah diproduksi oleh Soraya Intercine Films, apalagi properti-properti yang digunakan merupakan produksi lama dan proses penciptaan film ini menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun, tentu saja ini merupakan karya brilliant yang membuat penonton terlarut dalam cerita haru dalam film ini.

Film yang dialog dan penuturan kata logat minang dan Makassar membuat film ini sangat dinikmati oleh para penonton, apalagi budaya minang yang dianggap dikenal sebagai budaya yang suka melantukan kata-kata pantun dan gurindam. Meskipun kisah yang ada dalam film tersebut merupakan karya fiksi, tapi ternyata cerita kapal Van Der Wijk yang diceritakan dalam kisah film tersebut merupakan kenyataan, kapal tersebut memang benar tenggelam ditahun 1936 dipesisir perairan Lamongan Jawa Timur, bahkan di Desa Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, ada sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck. Monumen tersebut dibangun pada tahun 1936 sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat kapal yang namanya diambil dari nama Gurbenur Jenderal Hidia–Belanda itu tenggelam, tapi tenggelamnya kapal tersebut bukan seperti dalam cerita film tersebut yang perjalanan Surabaya menuju Padang, tapi tenggelamnya kapal tersebut saat dari Bali menuju ke Semarang.

Zainuddin adalah pria kelahiran Makassar yang bapaknya berasal dari Padang Panjang sedangkan ibunya berasal dari Bugis Makassar, perkawinan beda suku inilah yang menjadi masalah utamanya sehingga ia di Makassar dianggap orang Minang karena disana bernasabkan garis keturunan Bapak, sedangkan di Minang malah kebalikannya ia dianggap orang Bugis, karena di Minang bernasabkan garis keturunan Ibu, oleh sebab itu para pemuka adat menganggapnya ia tidak lagi memiliki pertalian darah dengan minang. Oleh sebab itu, dua kebudayaan berbeda yang membuat ia terhempas asal usulnya. Kepulangannya kekampung Bapaknya menjadi cikal bakal pertemuannya dengan Hayati, seorang gadis yatim piatu berketurunan bangsawan yang di asuh oleh pamannya, kedekatan Hayati dan Zainuddin lama kelamaan tercium oleh keluarga Hayati, bahkan orang orang kampung mulai membicarakan kedekatan dua remaja ini, Zainuddin yang dikenal sebagai pria baik dan ramah ini akhirnya terpaksa meninggalkan kampung tersebut dan pergi untuk kembali menimba ilmu agama ditempat lain.

Sesudah itu, Hayati yang dulunya pernah bersumpah kepada Zainuddin bahwa tidak akan pernah meninggalkannya meski dalam keadaan apapun, bahkan selembar selendang menjadi buah tangan yang diberikan oleh Hayati kepada Zainuddin atas permintaannya, akhirnya pada waktu tiba, datanglah dua buah lamaran untuk Hayati, yang pertama datang dari Zainuddin dan yang kedua datang dari Azis. Sebagaimana adat minang, yang memusyawarah untuk menghasilkan mufakat, keputusan yang diambil adalah menolak lamaran Zainuddin karena dianggap tidak berbudaya dan tidak pantas untuk Hayati dan menerima lamaran Azis, laki laki kaya dan terpandang serta berketurunan asli minang.

Mendengar kabar bahwa Hayati akan segera menikah dengan Azis dan menghianati janjinya, ia putus asa dan mengalami depresi berat, teman sekamarnya Muluk yang melihat kondisi Zainuddin berbulan bulan seperti itu memberikannya semangat, bahkan Muluk menawarkan Zainuddin untuk merantau ketanah Jawa, agar bisa berkarir dan melawan keterpurukan cintanya. Sampai ditanah Jawa, Zainuddin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya yang terus dan selalu ditemani sahabatnya Muluk. Sampai pada kemudian ia menjadi penulis terkenal dengan menerbitkan novel dengan karya termansyur dan diterima oleh seluruh komponen masyarakat, dengan begitu ia menjadi pria yang sukses dan kaya raya, bahkan mampu membeli rumah bagai istana luasnya. Sedangkan Hayati, masih berkutik dalam kehidupan yang sengsara, memiliki suami Azis yang berwatak jahat dan suka memukul, main judi dan pembohong, bahkan ia kerap kali menyebutkan Hayati sebagai perempuan kampungan.

Tetapi suatu peristiwa yang kemudian mempertemukan mereka kembali. Zainuddin yang berpindah ke Surabaya dengan kehidupan mewah dan megahnya, sedangkan Azis dan Hayati juga berpindah ke Surabaya dengan alasan pekerjaannya. Suatu acara yang dibuat oleh Zainuddin di istananya dengan mengundang seluruh perantau keturunan Sumatera, disanalah Azis mendapatkan undangan tersebut yang kemudian membawa Hayati ikut serta bersamanya menghadiri undangan tersebut. Pertemuan Zainuddin, Hayati dan Azis telah dalam kondisi yang berbeda, saat itu suami Hayati mulai bermasalah dengan perekonomiannya yang kemudian meminta bantuan kepada Zainuddin, meskipun Azis pernah memperlakukan Zainuddin dengan jahat, Zainuddin tetap dengan kedermawanannya rela membantu perekonomian Azis yang bahkan sampai harus tinggal dirumah Zainuddin berbulan bulan.

Setelah sekian lama Azis dan Hayati menetap dirumah Zainuddin, akhirnya Azis memutuskan merantau kekota lain untuk mencari pekerjaan, tapi dengan meminta izin bahwa Hayati untuk tetap diberikan tinggal dirumah Zainudin untuk sementara waktu sebelum ia mendapatkan pekerjaan. Ternyata kepergian Azis saat itu adalah pertemuan terakhir kali antara mereka bertiga, kemudian Azis mengirim surat kepada Zainuddin  dan Hayati, kepada Zainuddin surat tersebut berisikan dengan meminta menjaga Hayati dan mengembalikan kepadanya, sedangkan surat kepada Hayati berisikan pemutusan hubungan suami istri atau talak kepada Hayati dan setelah itu Azis memutuskan bunuh diri.

Berbulan bulan usai kematian suaminya Hayati mencoba berbicara kepada Zainuddin tentang perasaannya, lalu Zainuddin yang sudah lama dalam penderitaan batinnya menolak untuk kembali menerima Hayati, bahkan ia berujar “jangan mau ditumpang hidup saya yang tak berketurunan, tanah minangkabau beradat” dan yang lebih perih ungkapan yang diterima oleh Hayati adalah “Tidak, pantang pisang berbuah dua kali, lelaki takkan sentuh sisa orang”. Dengan perasaan dan hati yang sakit keduanya kemudian berpisah, lalu kemudian Hayati berangkat ke Padang dengan kapal Van Der Wijk, namun sebelum itu Hayati sempat memberikan surat kepada Zainuddin yang ia titipkan kepada Muluk sebelum berangkat ke Padang. Surat yang berisikan perasaan Hayati, cintanya yang tak pernah berubah sejak 3 tahun yang lalu, penyesalan Zainuddin pun akhirnya terlambat, Hayati telah berangkat dengan kapal yang kemudian menyebabkan kapal tersebut karam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun