Bicara soal Aceh maka bicara keunikannya, unik yang berarti berbeda dengan daerah lainnya, namun berbedanya Aceh bukan mendatangkan syafaat bagi kemakmuran rakyatnya, melainkan mendatangkan kemiskinan, pengangguran dan pandangan negatif daerah-daerah lain terhadap Aceh.Â
Menurut data BPS, penduduk miskin di Aceh justru meningkat diperdesaan, dari 18,49 persen menjadi 18,52 persen dengan tingkat peningkatan 0,03 persen, sedangkan diperkotaan justru menurun 0,81 persen dari 10,44 persen menjadi 9,63 persen, secara umum penduduk miskin di Aceh hingga September 2018 yaitu 15,68 persen, angka tersebut memberikan predikat Aceh sebagai Provinsi se Sumatera dan peringkat 6 se Indonesia.
Untuk Aceh, peringkat tersebut bukanlah hal baru, pasca MoU Helsinky yang terjadi tahun 2005 silam hingga saat ini, Aceh belum pernah mengalami predikat membanggakan soal kesejahteraan, pasca selesainya rehab-rekon yang dilakukan di Aceh, justru kondisi tersebut memberikan dampak inflasi yang cukup parah terjadi di Aceh, harga kebutuhan naik, harga tanah dan property meningkat tajam, sedangkan lapangan pekerjaan semakin menghilang.
Belum lagi kemudian soal perubahan sosial masyarakat Aceh, yang sangat sulit menerima perubahan sosial di lingkungannya, juga sangat mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat Aceh, contoh saja soal investasi di Aceh yang mampu membukakan lapangan pekerjaan, hal itu sangat sulit didapatkan di Aceh, para investor sangat enggan untuk menginvestasikan modalnya di Aceh, selain beresiko tinggi, dukungan terhadap lingkungan disekitar sangat tidak bisa diandalkan untuk sebuah ukuran investasi, belum lagi soal tidak adanya kepastian keamanan dan hukum di Aceh, tak jarang kita mendengar investor yang kemudian gagal melakukan investasi di Aceh.
Ditambah lagi soal produk-produk hukum yang dianggap nyeleneh oleh orang-orang diluar Aceh, tentu menambah daftar panjang negatifnya Aceh bagi investasi, dilarang ngangkang bagi perempuan, dilarang minum kopi semeja antara perempuan dan laki-laki, peraturan jam malam bagi perempuan dan berbagai produk-produk yang menyangkut soal publik dan dianggap tidak biasa oleh dunia luar, kemudian belum lagi soal banyaknya pengusiran-pengusiran yang dilakukan oleh masyarakat tanpa melibatkan aparatur negara, telah menambah catatan buruk bagi Aceh dimata luar, seperti pengusiran terhadap acara hiburan dan semacamnya.
Aceh sebagai provinsi yang menerapkan Syariat Islam telah memberikan peluang yang cukup besar bagi Kota Medan untuk perputaran roda perekonomiannya. Penerapan syariat islam yang difokuskan pada pencegahan kemaksiatan seperti melarang adanya bioskop, tempat hiburan dan sebagainya, membuat warga Aceh yang ingin menikmati sarana tersebut justru harus melakukan perjalanan jauh ratusan kilometer untuk dapat bisa mendapatkan kesenangan, tak sulit menemukan warga Aceh di Medan saat hari-hari libur, yang tentunya dipenuhi oleh warga kelas menenangah.Â
Maka tak mengherankan ketika Bank Indonesia menyebutkan bahwa selama tahun 2018 dari 8 triliun uang yang dikeluarkan BI ke perbankan dan masyarakat hanya 5 triliun yang kembali, artinya ada 3 triliun uang tunai yang keluar dari Aceh pada tahun tersebut, jumlah tersebut diprediksi bahkan lebih besar lagi, jika kemudian dihitung pada transaksi non tunai, maka betapa bahagianya Medan dalam menikmati roda perekonomiannya, yang mereka dapatkan akibat dari ketidakmampuannya pemimpin di Aceh dalam mengelola segala sumber daya yang ada.
Transaksi kedua provinsi ini terjadi akibat provinsi Aceh yang tidak mampu membuat apa-apa dalam memanfaatkan segala sumber yang ada didaerahnya, sehingga segala kebutuhan warga Aceh disiapkan dan difasilitasi oleh Provinsi tetangganya dalam hal ini Kota Medan, misalnya hal paling sederhana dan menjadi kebutuhan pokok masyarakat Aceh, soal telur ayam, menurut Kepala Dinas Peternakan Aceh, pengusaha lokal di Aceh hanya mampu menyediakan 5% atau 38ribu butir telur dari total kebutuhan yang mencapai 1,8juta telur setiap hari, sedangkan selebihnya dipasok dari Kota Medan. Amazing bukan?
Padahal Aceh memiliki segalanya dalam hal sumber daya alam, memiliki lahan nganggur yang cukup luas untuk ukuran peternakan, memiliki begitu banyak pengangguran yang bisa dipekerjakan, namun selalu kalah saing soal urusan bisnis dengan Medan, hal itu sangat dipengaruhi oleh enggannya investor untuk menginvestasikan modalnya di Aceh, sehingga di Aceh tidak memiliki pabrik pakan ternak, pabrik bibit ayam, pabrik obat-obatan dan kebutuhan-kebutuhan untuk peternakan, sehingga jika kemudian ada pengusaha lokal yang ingin membudidaya ayam petelur akan mengalami kesulitan dalam soal pakan, bibit ayam dan soal urusan obat-obatan, belum lagi soal harga yang tidak mampu bersaing dengan Medan, karena persoalan pasok kebutuhan produksi.
Maka tak mengherankan, jika Medan adalah surganya warga Aceh, setiap hari libur warga Aceh berjibaku di Medan, baik dipusat-pusat hiburan maupun pusat perbelanjaan, bahkan bagi para pengusaha penginapan di Medan, warga Aceh adalah tamu kehormatan, yang siap diberikan diskon dengan harga khusus jika menunjukkan KTP Aceh, namun yang paling aneh bin ajaib adalah, keluarga para pejabat di Aceh, yang tiap hari libur menghabiskan waktunya untuk ke Medan bersama keluarganya, mengunjungi tempat-tempat hiburan seperti bioskop, pusat perbelanjaan dan pusat hiburan lainnya, yang dimana di Aceh dilarang oleh keluarga mereka sendiri.
14 tahun sudah Aceh pasca MoU yang dilaksanakan di Helsinky, namun tidak mampu memberikan peningkatan perekonomian Aceh yang signifikan, apalagi mengingat uang yang terkucur di Aceh tiap tahunnya mencapai 15 trilyun dengan jumlah penduduk berkisar 5juta jiwa, jumlah anggaran tersebut lebih besar dibandingkan provinsi Sumatera Utara yang berkisar 14 trilyun ditahun 2018, namun dengan jumlah penduduk yang mencapai 14juta jiwa.Â