Pagi itu barisan siswa dideretkan dengan tertib untuk memperoleh bantuan seperangkat alat sekolah. Senyum bangga mereka sangat nampak. Merasa sebagai orang pilihan  yang layak diberikan bantuan. Bukan karena prestasi, tetapi karena kemiskinan orang tuanya. Dari 32 siswa, 22 diantaranya adalah MBR. Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Golongan masyarakat  yang memperoleh intervensi dari Pemerintah Kota Surabaya karena berdasarkan penelitian Dinas terkait tidak mampu melakukan kegiatan kemasyarakatan secara mandiri. Layanannya berupa layanan kesehatan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa atau 30 % dari jumlah penduduk Surabaya.Â
Melalui aset - aset yang dimilikinya Pemkot berusaha memberikan bantuan kepada mereka dalam layanan pendidikan diantaranya di Sekolah negeri dan (beberapa) sekolah swasta dengan meniadakan semua pungutan sekolah, dan bahkan memberikan perlengkapan penunjang agar para siswa anak - anak MBR itu bisa bersekolah. Buku penunjang, fasilitas sekolah, dan bantuan lainnya. Mereka memperoleh perlengkapan tersebut terlebih dulu dari pada rekannya yang merupakan siswa non MBR yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Bukan rahasia lagi, kebijakan penerimaan siswa baru yang mengakomodasi jalur ini, menyebabkan beberapa orang tua "memiskinkan" dirinya. Padahal untuk sampai pada posisi "miskin" tersebut, Pemkot telah melakukan berbagai screening. Di tingkat RT/RW para ketua harus melakukan appraisal tentang kelayakan mereka menjadi orang miskin penerima bantuan. Kemudian divalidasi pada jenjang yang lebih tinggi lagi oleh Dinas terkait. Tetap saja ditemukan celah cara aman agar lolos menjadi penerima gelar MBR. "Saya ndak punya rumah, itu rumah orang tua saya !" Saat survei tentang calon siswa baru jalur MBR, ditemukan orang tua siswa itu tinggal disebuah rumah bertingkat, yang jauh dari kesan miskin.Â
Meski secara konsep ideal, pelayanan ini terasa ketimpangannya. Betapa tidak, mereka yang tak dapat bantuan tersebut justru harus menanggung rasa sedih, malu, marah, karena mendadak mereka terlihat sebagai bagian siswa yang termarjinalkan. Lihatlah baju olahraganya. Meski mampu, mereka tak bisa langsung membelinya, karena jatah untuk mereka harus menunggu dari Pemkot, yang entah kapan dapat mereka terima. Lihat pula seragam mereka yang tak sama dengan sebagian besar teman - temannya. Meski sama birunya, tetap saja itu berbeda. Bukanya akan sangat adil jika "gratisan" ini diberlakukan kepada semua siswa ? Toh hanya tersisa 8-10 orang tiap kelas.Â
Butuh perubahan mindset bagi siswa penerima bantuan, bahwa pemberian itu mewajibkan mereka untuk belajar ekstra keras. Ada harga yang harus mereka capai sehingga dapat mengkompensasi kemiskinan orang tua mereka. Bukan malah sebaliknya. Siswa harus diberikan pemahaman bahwa bantuan yang diperoleh itu adalah salah satu cara agar mereka juga berhasil dalam belajar sebagaimana teman  yang tidak memperoleh bantuan. Mereka tidak perlu lagi direpotkan dengan pembelian perangkat sekolah. Sudah, cukup belajar saja, biarkan yang lain itu dipikirkan oleh Pemerintah Kota.
Mereka juga harus disadarkan bahwa MBR tidak boleh selamanya. Ada batasnya, karena ketika tidak terdaftar menjadi peserta MBR lagi itu berarti ada perbaikan dalam kehidupan dibandingkan sebelumnya. Tidak perlu ribut mencari kesalahan mengapa itu terjadi, mengingat sekolah hanya sebagai penyalur. Tugas pengumpulan data masyarakat miskin tersebut adalah ranah Dinas terkait. Jika ada perbaikan data yang mengakibatkan nama penerima tidak muncul, Â bisa segera diurus tanpa harus melupakan kewajiban orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak - anaknya. Â Jika masih belum berhasil di tahun ajaran ini, bukankah akan menjadi sebuah kebanggaan bilamana mereka dianggap mampu keluar dari jerat kemiskinan selama ini (baca : mampu/kaya).Â
Di sisi lain, harus pula diberikan pendekatan yang sama terhadap siswa non MBR. Mereka diajak untuk menyelami kondisi rekan - rekan penerima bantuan. Empatinya harus dibangun karena jika tidak dibantu, barangkali akan banyak teman - temannya yang putus sekolah. Tanpa bekal yang cukup, mereka agar mencari penghidupan di jalanan. Bayangkan jika mereka berada dalam kondisi itu. Sungguh menyedihkan bukan ? Â Bahwa mereka adalah orang - orang yang jauh beruntung karena mampu tumbuh dan berkembang secara mandiri tanpa bantuan orang lain, sehingga tidak perlu muncul perasaan iri hati yang karena secara nyata terpampang hampir seluruh teman sekelasnya ramai-ramai memperbincangkan barang barunya.Â
Penutup
Perubahan mindset adalah langkah awal dalam merubah segalanya. Dari otaklah semuanya dikonstruksi mau menjadi apa dan hanya mindset bertumbuh sajalah yang akan membuat orang berhasil dibidangnya. Kemiskinan yang berarti sama dengan kelemahan adalah adalah mindset yang harus dikikis. Saya barangkali miskin, tapi saya akan tetap berjuang dengan kekuatan saya. Karena saya yakin Tuhan telah memberikan kekuatan yang cukup untuk mengatasi kekurangannya saya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H