Mohon tunggu...
Yudi Hardi Susilo
Yudi Hardi Susilo Mohon Tunggu... Apoteker - Master of Clinical Pharmacy

Pernah belajar tentang obat dan racun

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengadaan Obat E-Katalog: Solusi atau Masalah Baru?

26 September 2013   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22 3081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380174525863105997

[caption id="attachment_290963" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Tahun ini, telinga saya dipenuhi oleh banyak keluhan dari teman-teman yang bekerja dengan obat terkait masalah pengadaan obat e-katalog. Apa itu e-katalog? Gampangnya ya katalog elektronik. Sebuah daftar yang sudah ada, dan dapat di akses melalui online. Pengadaan obat sebelum e-katalog, secara garis besar dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang ada, yaitu melalui perencanaan, proses pengadaan, pemesanan ke distributor, penerimaan, dan distribusi ke unit layanan. Dengan e-katalog, prosesnya hampir sama, hanya daftar obatnya telah ditentukan. Konon, daftar obat yang ada di e-katalog merupakan usulan daerah seluruh daerah di Indonesia dan kemudian pusat merekap menjadi daftar yang harus secara konsisten dipakai di seluruh Indonesia. Jadi ketika terjadi masalah seperti kuota habis atau pemakaian melebihi dari yang diusulkan, maka pusat bisa menyalahkan proses perencanaan yang diusulkan daerah. Awalnya, saya berpikir bahwa pengadaan obat e-katalog hanya untuk pengelolaan obat di lingkup Kabupaten/Kota yang dikelola oleh Dinas Kesehatan. Ternyata, unit layanan kesehatan milik pemerintah seperti rumah sakit juga diwajibkan menggunakan e-katalog dalam proses pengadaan obatnya. Dari awal sosialisasi tentang pengadaan obat e-katalog tahun lalu, saya berpikir positif bahwa tujuan pemerintah pusat adalah sangat mulia, karena diharapkan melalui e-katalog ini ketersediaan obat terjamin dan daerah tidak dipusingkan dengan proses negosiasi yang rumit. Secara biaya, harga-harga obat e-katalog memang jauh lebih murah, karena memang pabrik yang diberi proyek untuk memproduksi obat dalam e-katalog tentu lebih tenang bila punya data dan punya pembeli pasti. Harga yang murah dari e-katalog ini bagi pemerintah sangat bermanfaat untuk menekan biaya kesehatan yang makin tinggi. Lalu apa masalah dan kendalanya? Pertama, ternyata tidak semua orang, baik itu orang kesehatan maupun nonkesehatan, yang bekerja dengan obat, tahu tentang e-katalog. Masalah sosialisasi harus diperbaiki terutama untuk hal yang penting seperti ini. Atau kalau misalnya masalah sosialisasi terhambat masalah birokrasi, ya pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Karena semua permasalahan yang terkait dengan obat, pasti ujung-ujungnya adalah PASIEN. Bagaimana jika gara-gara sosialisasi yang tidak bagus, end point-nya obat kosong? Fatal bukan? Kedua, Pengadaan obat itu tidak sama dengan pengadaan mobil. Ini yang harus dicamkan. Meskipun ada teori perencanaan seperti metode konsumsi, metode epidemiologi ataupun kombinasi keduanya. Tetap saja di lapangan, obat dipakai berdasarkan kebutuhan pasien. Penggunaannya tergantung pada tingkat kesembuhan, perilaku penduduk setempat dan kepatuhan dalam pengobatan. Ini akan berdampak pada perencanaan untuk jangka waktu yang lama seperti sekarang ini dengan item obat yang sudah detail ditetapkan. Banyak kemungkinan perubahan-perubahan di tengah jalan. Ketiga, bagi penyedia obat, ternyata masalahnya jauh lebih komplek. Kalau pabrik mungkin tinggal produksi saja. Namun organisisasi di bawahnya, seperti distributor utama, pabrik besar farmasi, terlihat pontang-panting dengan adanya e-katalog ini. Apalagi bila dihadapkan pada distribusi obat ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Akhirnya, hampir semua penyedia mempersyaratkan jumlah minimal order yang mencapat 50 juta sekali order kepada pengguna dalam hal ini Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit. Bagi pengguna, jumlah sebegitu besar untuk sekali order, bisa meliputi obat yang tidak ada dalam perencanaan dan kebutuhan mereka. Apakah ini tidak terpikirkan oleh pusat sebelum menerapkan e-katalog ini? Keempat, Rumah sakit lebih parah lagi keluhannya, setiap hari mereka dihadapkan pilihan antara kepentingan pasien dan prosedur e-katalog. Artinya tanpa e-katalog ini pun, pengadaan obat di RS sangat ekstrakeras merencanakan agar obat tersedia dan tidak pernah kosong. Apalagi dengan e-katalog, yang pesan 1 item obat saja bisa sampai sebulan baru datang. Meskipun metode perencanaan obat di RS sangat canggih sekalipun, tetap saja ada obat-obat cito/segera yang memerlukan proses cepat dalam hitungan jam harus disediakan. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan harus mengkaji kembali pengadaan obat dengan e-katalog ini. Jangan memaksakan diri mengklaim sistem yang ada adalah terbaik, sehingga malah timbul omongan-omongan negatif, seperti dapat fee tender dan lain-lain. Selalu libatkan farmasis dalam panitia pengadaan obat! Niat mulia, juga harus diterapkan secara mulia (benar dan tepat) "Safety first with medicines, ask your pharmacist" Salam, yudihardis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun