[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Sering menjumpai sederet pertanyaan dari pasien tentang cara penggunaan, indikasi, efek samping, dan hal lain seputar obat-obatan. Sebagian dari mereka ada juga yang  mempertanyakan pilihan terapi yang selama ini dijalani. Pasien dengan penyakit TBC, misalnya, beberapa dokter memberikan saran agar obat-obatan seperti isoniazid dan rifampicin diminum kira-kira setengah jam sebelum makan pagi secara bersamaan, sementara dokter yang lain menganjurkan rifampicin diminum pagi dan isoniazidnya diminum sore harinya. Perbedaan itu menimbulkan pertanyaan kepada pasien tentang kebenaran terapi yang sedang dijalaninya. Begitu pun halnya dengan pasien yang menderita gangguan saluran pencernaan. Obat-obat untuk gangguan saluran pencernaan begitu banyak jenisnya, tergantung dari gejala ataupun penyakit yang terdiagnosa. Obat-obat seperti antasida, ranitidin, simetidin, lansoprazole, omeprazole, esomeprazole, pantoprazole, dan sukralfat menjadi pilihan terapi yang masih dijumpai sekarang ini. Tidak hanya mempertanyakan, bagaimana cara pakai obat yang telah diresepkan oleh dokter, namun terkadang mempertanyakan kepada Apoteker apakah obat tersebut tepat bagi penyakitnya. Obat golongan sukralfat, misalnya, masih terjadi pro-kontra tentang kegunaannya untuk mengatasi gangguan akibat berlebihnya asam lambung dalam saluran pencernaan. Beberapa dokter spesialis menyebutkan sukralfat hanya memberikan efek ‘menipu’, karena dia hanya melapisi mukosa lambung, namun tidak menghentikan produksi asam lambung. Sementara di rumah sakit, penggunaan sukralfat hampir selalu dijumpai dalam terapi gangguan saluran pencernaan ini. Perlu atau tidaknya obat dikonsumsi juga menjadi hak pasien itu sendiri. Tidak salah bagi mereka untuk mempertanyakan kembali terapi yang selama ini dijalani demi kesembuhan dan keberhasilan dari pengobatan tersebut. Bahkan di beberapa rumah sakit yang telah memiliki spesialis farmasi klinik, dokter akan meminta pertimbangan kepada apoteker tentang pengobatan berbasis bukti untuk pasien yang sedang ditanganinya. Apa itu pengobatan berbasis bukti? Dalam istilah asing dikenal dengan Evidence-Based Medicine (EBM) adalah sebuah proses sistematis untuk melihat kembali (reviewing), menilai (appraising), dan menggunakan (using) penelitian klinik yang didapatkan untuk membantu tercapainya kondisi yang optimal dalam terapi serta pelayanan pengobatan pasien. Pengobatan berbasis bukti ini merupakan perpaduan dari keahlian klinis individual dalam memperoleh bukti terbaik dari sumber-sumber penelitian yang tepercaya dengan kondisi, keinginan dan harapan dari pasien. Bukti yang dimaksud di sini adalah hasil penelitian ilmiah yang mempunyai tingkat keandalan yang tinggi, memenuhi kaidah-kaidah penelitian yang bisa dipercaya dan memiliki kemanfaatan klinik yang bisa digunakan oleh praktisi di lapangan. Sebagai contoh, adalah kasus untuk pengobatan refluks esofagitis. Seorang mahasiswa S2 farmasi klinis di Surabaya, telah menemukan beberapa penelitian ilmiah yang membandingkan efektivitas secara head to head antara esomeprazole versus omeprazole. Penelitian-penelitian ini kemudian dilihat kembali, dilakukan critical appraisal dan selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk pertimbangan melakukan terapi. Refluk esofagitis merupakan gangguan yang dialami sekitar 40-60% penderita GERD (Gastroesophageal Reflux Disease). Sasaran dari pengobatan GERD adalah mrenyembuhkan esofagitis, meringankan gejala, memperbaiki kualitas hidup dan mencegah komplikasi. Omeprazole merupakan Proton Pump Inhibitor (PPI) yang terbukti efektif untuk mengatasi gejala-gejala GERD, tetapi penelitian terbaru memperlihatkan bahwa esomeprazole memiliki efektivitas yang lebih baik. Ada dua penelitian yang menyebutkan bahwa esomeprazole terbukti secara ilmiah memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan omeprazole. Penelian pertama dari Kahrilas, et. Al melakukan penelitian acak terkontrol pada 1.960 pasien refluks esofagitis di Amerika dan penelitian kedua juga berupa penelitian acak terkontrol yang dilakukan di Hainan, China, oleh Rhi-Nan Zheng. Kedua penelitian tersebut memang menunjukkan bahwa esomeprazole terbukti secara ilmiah lebih efektif dibanding omeprazole, namun metode pengobatan berbasis bukti tidak hanya berhenti di sini. Faktor pasien dan kondisi ketersediaan obat juga menjadi pertimbangan yang penting agar tercapai terapi yang optimal. Untuk program Jaminan Kesehatan Nasional, misalnya, esomeprazole tidak termasuk dalam daftar obat-obatan yang tertera dalam Formularium Nasional. Obat bermereknya punya pun harganya sangat mahal, sehingga esomeprazole hanya direkomendasikan pada pasien yang secara ekonomi mampu dan bersedia saja. Sedangkan untuk pasien yang terdaftar dalam Jaminan Kesehatan Nasional, tetap direkomendasikan untuk menggunakan omeprazole sebagai pilihan pertama sesuai Formularium Nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Pengobatan berbasis bukti tidak mencari terapi yang paling maksimal, namun menerapkan pengobatan yang optimal bagi pasien. Seorang pengajar materi EBM ini pernah bercerita bahwa ada seorang pasien yang telah begitu lama menderita suatu penyakit dan telah menjalani berbagai macam terapi baik itu operasi maupun alternative pengobatan lainnya. Dalam kondisi kritis pasien tersebut dibawa ke sebuah rumah sakit dengan harapan penderitaannya selama ini, bisa dihentikan. Dokter dan tim di rumah sakit berusaha keras mencari yang terbaik dan berhasil menemukan metode untuk menyelamatkan hidup si pasien, dan seluruh keluarga telah setuju dengan metode tersebut dengan resiko yang ditanggung bersama. Namun, apa yang terjadi setelah dimintakan persetujuan si pasien itu sendiri? Dia menolak! Yang diinginkan oleh pasien tersebut adalah menghentikan penderitaannya selama ini, bukan menyelamatkan hidupnya dan menderita sepanjang hidupnya. Dokter dan timnya pun tak bisa berbuat apa-apa selain mengabulkan keinginan pasien. Bagaimana dengan yang terjadi di sekitar kita? Apakah ketika berobat ke rumah sakit kita mendapati obat yang begitu banyak jumlahnya dan harga yang membuat kondisi keuangan terus menipis? Ada yang bilang, sehat memang mahal harganya, dan tentunya dengan pengobatan berbasis bukti ini, mahal dan murah menjadi faktor pertimbangan yang mempengaruhi optimal atau tidak optimalnya pengobatan. Sama dengan halnya obat yang mahal, obat yang murah pun belum tentu optimal bagi pasien. Beberapa penelitian tentang pengobatan skizofrenia, misalnya, menyebutkan bahwa risperidon mempunyai efek samping lebih rendah dibanding antipsikotik generasi pertama dalam hal efek ekstrapiramidal dan nocturnal enuresis. Terapi skizofrenia tidak hanya bertujuan menghilangkan gejalanya, namun juga meminimalkan efek samping dari penggunaan obat. Risperidon secara ekonomis memang agak sedikit mahal dibanding antipsikotik generasi pertama, namun bila mempertimbang efektivitas dalam meminimalkan efek sampingnya, maka klinisi perlu mempertimbangkan obat ini. Tidak bisa dipungkiri, pengobatan di jaman sekarang tidak mutlak hanya mempertimbangkan faktor kekuatan obat yang maksimal, namun juga harus mempertimbangkan kondisi pasien. Pergeseran pelayanan kesehatan yang berpusat kepada pasien (patient center) memerlukan keahlian dalam mencari bukti-bukti penelitian ilmiah yang tepat. Boleh jadi literatur seperti Farmakope ataupun AHFS menyebutkan kegunaan obat golongan sukralfat dapat digunakan untuk pasien yang asam lambungnya berlebihan, namun apakah sudah ada penelitian ilmiah yang bisa dipercaya yang menyebutkan hal itu? Apakah kemudian penelitian itu bisa terapkan di lingkungan kita? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya selalu ada dalam pikiran praktisi di rumah sakit ketika ada permasalahan klinis yang datang. Pertanyaan yang kritis, tapi bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H