Mohon tunggu...
Yudi Bachtiar
Yudi Bachtiar Mohon Tunggu... profesional -

khalifah fil ardi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Canon Printer Ajaib

2 Mei 2014   23:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:56 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi mahasiswa termiskin di kampus adalah gelar yang saya terima sejak hari pertama duduk di bangku kuliah pada tahun 2007 lalu di Universitas Pendidikan Indonesia. Bekal yang diberikan oleh ibu dan bapak saya di kampung hanya sebesar Rp.50.000 untuk jangka waktu yang tidak tentu. Mirisnya, uang dengan nominal fantastis tersebut harus cukup untuk biaya makan, sewa kos, membeli buku, dan keperluan tugas kuliah. Tidak jarang, saya harus rajin-rajin berpuasa untuk menyambung nyawa, atau bergerilya ke kos-kosan teman-teman saya untuk turut menikmati nasi putih dan lauk-pauk seadanya di kosan mereka. Di lain kesempatan, saya pun menyusuri kebun-kebun di kampus saya untuk mengumpulkan buah-buahan yang bisa menghibur perut saya yang sedang durjana. Semua ia saya jalani selama kurang lebih dua tahun. Alhasil, badan saya pun kurus kering, hanya tinggal tulang berbalut kulit keriput karena kurang gizi. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

Selain masalah keuangan, masalah lain yang saya hadapi di tahun pertama kuliah adalah soal keterampilan menguasai gadget-gadget, seperti komputer, dan printer.

Berprofesi sebagai mahasiswa pada zaman serba canggih, di mana alat-alat elektronik diciptakan untuk membantu manusia mengerjakan tugas-tugas hidupnya, saya harus belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik yang ada di kampus. Di bulan-bulan pertama kuliah, saya benar-benar mempermalukan diri sendiri dan nasab keluarga saya di kampung. Saya benar-benar gagap teknologi. Mengetik di komputer, menyusun bahan presentasi dengan power point, mencetak teks dari komputer melalui printer, semua itu bagaikan petir di siang bolong bagi saya. Dalam masa itu, tidak jarang saya dijadikan bulan-bulanan oleh rekan-rekan saya di kelas, karena saya hanya menyusun materi presentasi saya pada lembaran kertas HVS bekas. Pada saat itu, barulah saya sadar akan makna dari caci-maki guru TIK di SMA saya dulu, “suatu hari kamu akan menyesali kelakuanmu ini, anak berandal. Kamu akan tahu betapa pentingnya mata pelajaran ini!” hardiknya kepada saya yang hanya menunduk menahan malu. Wajar saja, karena saya hanya pernah masuk dua kali pada mata pelajaran beliau, di awal dan di akhirnya saja.

Didorong oleh keinginan yang luhur supaya terampil mengoperasikan komputer dan kawan-kawan, selama berbulan-bulan saya pun giat belajar mengetik di komputer. Dengan “11” jari (dua jari telunjuk), membutuhkan waktu berjam-jam bagi saya untuk memenuhi satu lembar kertas A4 dengan tulisan sederhana. Jika ada tabel, gambar, dan sejenisnya, bisa memakan waktu lebih lama lagi. Sialnya, karena tidak punya cukup uang untuk menyewa komputer di tempat rental, saya pun harus bersabar mengantri giliran memakai komputer kampus yang jumlahnya masih sangat terbatas ketika itu.

Demi memenuhi hasrat saya akan ilmu, saya pun rela menjadi kuli ketik bagi rekan-rekan kuliah saya yang malas mengetik tugas-tugas kuliah mereka. Gratis tak mengapa, yang penting kemampuan saya semakin terasah.

Salah satu hal yang menarik dari mengetik adalah bagian akhirnya. Setelah selesai mengetik semua bahan yang diperlukan, langkah selanjutnya adalah mencetak hasil ketikan saya melalui sebuah alat yang dinamai printer (pencetak). Ctrl+P, itulah dua tombol pintasan untuk mencetak sebuah teks pada Microsoft word yang terpampang di layar komputer. Setelah dianggap pas, tekan pada bagian “print”, dan mesin itu pun mulai bergoyang-goyang, bergerak ke kanan dan ke kiri, menari-nari di atas kertas. Selang beberapa saat, akhirnya keluarlah kertas-kertas putih dengan rangkaian tulisan berwarna hitam nan rapi. Ajaib!

Kemudian hari-hari pun berganti, jutaan kali sudah jari-jari saya mengetik di atas papan keyboard hitam itu, ratusan dan bahkan ribuan lembar kertas sudah saya cetak melalui printer, saya pun sudah cukup lihai memainkan jari-jemari, memijati tombol-tombol di papan keyboard.

Karena sering berganti-ganti komputer untuk mengetik, saya pun pernah mencetak file melalui berbagai jenis printer dari berbagai merk, seperti Hp, Canon, dan Epson. Namun, suatu keajaiban adalah ketika untuk pertama kalinya saya menggunakan Canon Laser (saya lupa tipenya). Tidak seperti printer konvensional, printer jenis ini mampu mencetak dengan kecepatan kilat dan kualitas yang tinggi. Jika hasil print dari printer biasa, tinta yang menempel pada kertas akan rawan luntur jika terkena air. Tapi dengan printer yang satu ini, tinta tetap setia menempel pada kertas meski terkena air. Ini benar-benar ajaib, saudara-saudara!

Dengan  berbagai kelebihannya, mencetak dengan printer laser dari Canon di tempat rental juga murah, harganya sama dengan mencetak dari printer biasa. Tapi jika dihitung waktu yang dapat dihemat, jelas bahwa mencetak dengan printer laser dari Canon relatif lebih menguntungkan. Mencetak lebih banyak dengan harga terjangkau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun