Di era digital, penggunaan media sosial telah menjadi masif, begitu juga dengan isi konten yang telah bervariasi. Salah satu fenomena yang cukup unik dan menarik perhatian adalah fenomena live “fake eating”, siapa sangka hal ini menarik banyak audiens hanya untuk menonton menunggu orang memasukan makanan kedalam mulut, disamping membuat orang kesal, ternyata cuan yang dihasilkan cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani bagi kreator. Salah satu contoh menarik adalah akun tiktok dengan nama pengguna @anggun_supriadi91 yang di siaran langsungnya menyodorkan cabe yang cukup banyak kedalam mulut.
Konten Anggun awalnya mengandalkan gimmick visual dan efek suara yang membuat penonton merasa seolah-olah merasakan pedasnya cabe tersebut. Ia seringkali menggambarkan sensasi pedasnya dengan cara yang dramatis menyeka keringat di dahi atau minum air dengan ekspresi penuh kepedasan. Hal ini membawakan jutaan audiens menunggu anggun memakan cabe yang ada di tangannya, walaupun banyak yang kesal, banyak juga yang memberikan gift untuk anggun karena iming-iming anggun yang akan memasukan cabe yang ada di tangannya ketika mencapai kuota tertentu.
Live-nya sukses viral berkat gimmick seolah “menggigit” cabe di layar. Tidak lama kemudian, Anggun mulai mendapatkan perhatian besar dari netizen. Menyadari peluang ini, ia pun memulai bisnis sambal sendiri, yang ia beri nama “Sambal Anggun Josss.”
Fenomena anggun menunjukan potensi cuan yang menjanjikan dengan ide yang remeh walaupun harus sedikit menguji kesabaran netizen. Kreator yang sukses dalam menarik perhatian seringkali mendapatkan imbalan yang cukup besar dari penonton, terutama melalui fitur live. Inilah yang memotivasi para kreator untuk terus mempertahankan gimmick mereka. Ujungnya, konten ini pun berubah menjadi sarana untuk mengumpulkan uang dan meraih keuntungan.
Namun, fenomena ini bukan tanpa kritik. Banyak yang memandang konten “fake eating” sebagai bentuk manipulasi yang menyesatkan. Beberapa penonton merasa tertipu ketika mengetahui bahwa kreator yang mereka tonton sebenarnya hanya berpura-pura makan. Ada juga yang berpendapat bahwa tren ini menurunkan nilai dari konten kuliner dan mukbang, yang seharusnya memperlihatkan kenikmatan otentik dalam mengonsumsi makanan.
Di balik kontroversi tersebut, fenomena “fake eating” di TikTok membuktikan bahwa dunia konten media sosial selalu memiliki sisi yang tidak terduga. Fenomena ini menggambarkan bagaimana sebuah ide yang sederhana dapat menghasilkan audiens yang besar dan menghasilkan uang. Bagi para kreator, tren ini adalah peluang untuk meraih popularitas dan pendapatan. Di sisi lain, bagi kita para penonton, tren ini mengingatkan bahwa tidak semua yang kita lihat di media sosial selalu nyata atau otentik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H