Tentu saja, maklumat ini berimbas pada tidak bebasnya wartawan dalam memberitakan berbagai kejadian di daerah perang. Nyaris tidak ditemukan di halaman media massa –baik lokal dan nasional– soal kekejaman yang ditimbulkan perang. Padahal, diperkirakan lebih 2.800-an orang tewas dalam perang antara kurun 2003 hingga 2005.
Tak hanya membatasi gerak jurnalis, PDMD juga mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif pada Juni 2003. Kala itu, Endang Suwarya menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Aceh untuk membekali diri dengan kartu tanda penduduk (KTP) Merah Putih. KTP khusus warga Aceh ini berukuran sekitar 13 x 10 sentimeter. Di bagian muka berwarna merah dan putih, lengkap dengan gambar Garuda dan isi Pancasila. Setelah ditandatangani camat, KTP Merah Putih diverifikasi oleh komandan Koramil.
Pemberlakuan Darurat Militer sejatinya berakhir pada 18 November 2003. Namun, Megawati memperpanjang status perang itu hingga 18 Mei 2004 melalui Keputusan Presiden No 97/2003. Setelah setahun lamanya, baru pada 19 Mei 2004 Presiden Megawati menurunkan status Aceh menjadi Darurat Sipil. Status ini pun bertahan setahun, hingga akhirnya pada 15 Agustus 2005, Indonesia dan GAM bersepakat untuk mengakhiri konflik yang terjadi sejak Desember 1976 itu.
Kini, Aceh telah memulai lembaran baru: hidup dalam nuansa damai dan berbenah setelah perang dan tsunami. Kita tidak berharap perang kembali menjadi tuan di negeri bertuah ini. Terima kasih SBY dan Buk Mega semoga loe berdua dpat berasakan balasanNya. |Radzie Gade|
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H