Suara jangkrik mulai bersautan, musik perlahan menerusuk kedalam para telinga.
ada yang sedang terjadi (lagi) hari ini, pepohonan dan suara-suara para makhluk lain seakan membaur menjadi entah apa namanya. didekat asap dan marmer putih, ada beberapa berkas cahaya menerangi meja.
pepohonan yang bisu dari luar jendela hanya bisa mengintip. aku! aku yang biasanya menonton kini aku ditonton, ada sesuatu menyergap, rindukah? atau perasaan lain? ada hal yang mestinya dapat terungkap. jangan jadi lelah! jangan berhenti! berhentilah jika kamu mati. jangan jadi seperti mereka, dirimu adalah permata mentah! harus diasah agar dapat terlihat kilaumu.
jadilah beda, bedamu menunjukkan siapa dirimu.
kelak kau akan mengerti betapa rindunya si penulis yang (tidak) agung ini, pemula pula, tapi masih bisa merindumu. merindukan gerai harum rambutmu, senyum dengan bibir berkawat seperti anak muda masa kini, tentangmu semuanya.
kali ini aku duduk lagi, dipojokan terang sebuah cafe dengan banyak manusia yang dengan senyum merona, gelak tawa, canda yang aku tak tau apa maksudnya. atau karena aku memasang headset ditelinga?
kasian televisi itu, tak ada guna hanya sendu menarik segelintir orang yg bosan dengan lawan bicaranya, coklatku tak lagi hangat seperti beberapa jam lalu.
untukmu yang pernah singgah diberanda.
aku rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H