Naik- naik kepuncak gunung,
tinggi-tinggi sekali,
Kiri kanan kulihat saja,
banyak pohon cemara,,
Yoi, bait diatas merupakan bait dari sebuah lagu anak dengan judul “Naik Gunung”. Saya tidak tahu siapa pengarang dan tahun berapa lagu tersebut dibuat, yang jelas dulu pertama kali saya mendengar lagu tersebut adalah ketika saya berumur 3 tahunan.
Akhir Januari 2012, saat libur kuliah semester 1, saya memulai debut saya sebagai pendaki gunung. Gunung yang pertama saya daki adalah Gunung Sumbing. Orang bilang kenangan pada cinta pertama itu sulit dilupakan hehe, demikian juga dengan pendakian pertama. Untuk itu saya ingin berbagi sedikit kisah pendakian pertama saya ini kepada para pembaca.
Gunung Sumbing (3371mdpl) adalah gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet (3428mdpl). Gunung Sumbing terletak pada kabupaten Temanggung dan kabupaten Wonosobo bersebelahan dengan Gunung Sindoro. Layaknya pasangan baru, Gunung Sumbing tanpa lelah berhadapan dan saling pandang dengan Gunung Sindoro, hanya Jalan Raya Wonosobo – Temanggung yang memisahkan dua sejoli ini wkwk. Secara legal Gunung Sumbing mempunyai empat jalur pendakian yaitu: Jalur Garung, Jalur Tedeng, Jalur Cepit, dan Jalur Cengklok. Kami memilih Jalur Garung
Sekitar jam 2 siang kami berangkat dari Solo. Di Temanggung kami sempat di guyur hujan deras sekitar 20 menit. Kami sampai di Basecamp Garung jam 5 sore. Alamat lengkap Basecamp Garung adalah Desa Butuh, Dusun Garung, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Lebih tepatnya masuk sekitar 500meter ke dalam gapura Garung yang berada di sebelah kiri jalan menurun arah Wonosobo dari Temanggung. Kami lalu melakukan Isoma dan menyempatkan tidur sebentar di Basecamp Garung. Rute Garung terdapat dua pilihan yaitu jalur lama dan jalur baru dan kami memilih jalur baru yang notabene lebih sulit tetapi lebih dekat daripada jalur lama. Tepat jam 10 malam kami berangkat. Saat di awal keberangkatan, kami ditemani oleh udara dingin dan rintik hujan. Akan tetapi betapa beruntungnya kami setelah melewati jalan tanjakan pemukiman penduduk, gerimis reda dan bulan tidak lagi eggan menampakkan sinarnya. Waktu itu bulan malah memberikan sinarnya seutuhnya pada kami hingga kami tidak perlu senter untuk menerangi jalan. Di sisi kanan kiri samar-samar terlihat sawah dan perkebunan penduduk yang naik turun laksana kurva yang membentang luas. Ketika kami menoleh ke belakang lampu-lampu kabupaten Wonosobo dan Temanggung terlihat seperti jutaan kunang-kunang yang bersinar nan jauh di sana. Dinginya angin malam sudah tidak terasa karena kalah oleh panasnya tubuh yang terus mengeluarkan cucuran keringat. Kami istirahat sekitatar masing-masing 5 - 10 menit pada sungai temporer dan tempat in memoriam seorang pendaki yang meninggal. Pada sungai temporer kami sedikit bersantai sambil makan roti dan minum susu sebagai penambah tenaga, tak lupa kami juga mengisi ulang persedian air kami. Perjalananpun dilanjutkan, tanjakan demi tanjakan kami lalui sedikit demi sedikit. Setelah melewati dua bukit genus dan sedlupak kami melewati jalur tanah merah sempit yang mudah longsor dengan kemiringan sekitar 60drajat dan sepanjang sisi kanan adalah jurang. Sepertinya jalur tanah ini juga sebagai jalur air. Jam 2 malam kami sampai di Pestan( Peken Setan) = Pasar Setan, kok namanya serem banget ya. Awalnya kami berniat ‘hajar’ sampai pos camp terakhir sebelum puncak, haha apa boleh buat cuma niat, kondisi fisik kami menyerah lemah pada sapaan kondisi fisik jalur, akhirnya kami memutuskan untuk membangun dome (tenda) lalu tidur di pestan ini. Oiya pestan ini juga merupakan tempat bertemunya jalur lama dan jalur baru. Keesokan harinya kami bangun hampir jam 9 pagi. Cuaca pagi itu agak mendung jadi tidak begitu jelas pemandangan sekitar. Tak lupa kami melakukan sholat subuh berjamaah diatas matras (siang sekali ya haha). Setelah sholat subuh kami memasak nasi, mie, sarden, dan bubur. Setelah makan kami ragu mau lanjut ke puncak atau tidak karena kabut siang itu sudah cukup tebal. Teringat filosofi pendaki gunung quiters (menyerah sebelum memulai), campers (menyerah di tengah perjalanan), dan climbers (sampai pada puncak) akhirnya kami memutuskan untuk tetap menuju puncak. Hampir pukul 12 siang kami baru berangkat dari pestan. Kami hanya membawa barang seperlunya, dome dan yang lain kami tinggal di pestan.
Sekitar 15 menit jalan kaki dari dari Pestan, kami tiba di Pasar Watu, yaitu bukit sempit yang menjulang tinggi dan terdapat banyak sekali batu besar berserakan. Jalur disini kelihatannya rawan karena beenar-benar terbuka dengan kanan dan kiri jurang. Untuk menuju Watu Kotak pilih jalur turun punggungan ke arah kiri sedikit mengelilingi dinding batu terjal, jangan ikuti jalur lurus dengan cara memanjat dinding terjal karena jalur ini menuju bukit yang buntu dan berbatu.
Dengan cara menelusuri sisi-sisi batuan terjal, Kemudian kami tiba di Watu Kotak sebuah batu yang besar seperti kotak yang memiliki ceruk, dapat digunakan untuk berlindung dari tiupan angin dan hujan. Di tempat ini ada sedikit ruang untuk mendirikan tenda kecil.
Selanjutnya kami sampai pada Tanah Putihyang berupa batuan kapur. Aroma belerang mulai menusuk paru-paru. Kabut siang itu sudah begitu tebal dan saya baru sadar kalau kami sudah dikelilingi oleh banyak edelweiss sang bunga abadi dan vegetasi cantik lainya. Jalur sangat berat, terjal dan berbatu-batu, kami berhati-hati terhadap batu-batu yang mudah jatuh menggelinding ke bawah karena batu-batu di Tanah Putih memang kecil dan mudah longsor tidak seperti di Pasar Watu yang besar dan sudah tertanam di tanah. Kami bertemu 2 orang pendaki yang turun dari puncak. Mereka memberitahu kami bahwa puncak buntu lurus dan puncak kawah ke kanan. Kami berterima kasih sambil tersenyum lega. Allahuakbar walhamdulillah akhirnya kami sampai pada puncak buntu. Namun sayang seribu sayang kabut sudah sangat sangat sangat tebal sekali. Kami sama sekali tidak bisa melihat sekeliling, hanya titik pada puncak tersebut yang kami lihat. Kami beristirahat sejenak sambil makan sisa roti yang kami bawa dari Pestan.
Baru beberapa menit kami istirahat, gerimis datang mengguyur. Kami langsung turun dengan hati-hati menggunakan mantol. Saya sangat kesulitan untuk turun karena ini adalah pertama kalinya saya naik gunung. Keamatiran saya makin menjadi-jadi karena sepatu yang saya pakai adalah sepatu jogging, jalur bertambah licin karena terkena air hujan, dan tebalnya kabut memperpendek pandangan mata.
Sampailah pada Watu Kotak. Kami berteduh sambil beristirahat sejenak. Gerimis sempat mereda dan kabut mulai menipis. Kami lalu melanjutkan perjalanan turun. Baru beberapa menit setelah Watu Kotak, hujan sangat deras turun tiba-tiba. Sampai pada Pasar Watu, lengkap sudah penderitaan kami karena badai angin yang sangat kencang datang. Hujan deras disertai badai menjadikan perjalanan semakin seru dan mendebarkan sekaligus mengkhawatirkan. Semua rumput dan pohon kecil condong kearah kanan hingga ujung hampir menyentuh tanah karena kencangnya badai tersebut. Ketika kami berjalan badan kami selalu terdorong kekanan. Dalam kelompok saya lah yang paling lamban dalam hal menuruni gunung karena saya lah satu-satunya orang yang baru pertama kali naik gunung. 2 orang teman saya mempercepat langkah untuk memeriksa keadaaan tenda karena kami khawatir jikalau tenda kami terbang tertiup badai. Sampailah kami di pestan dimana tenda kami didirikan. 2 teman saya yang tadi turun dengan cepat sudah berjaga di dekat tenda ditemani 2 orang yang tadi kami bertemu mereka sebelum puncak. Mereka juga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tenda yang kami dirikan di sebelah pinggir kiri terseret sampai ke tengah pestan. Beruntung badai bertiup kekanan, coba bayangkan jika badai bertiup ke kiri dan barang yang kami tinggal di tenda hanya sedikit, pasti tenda sudah menghilang tersapu badai. Badai tidak mereda malah bertambah kencang. Kami semua langsung masuk ke tenda. Jam menunjukkan pukul 6 sore. Di dalam dome kami mendorong semua sisi tenda entah dengan tangan dengan punggung ataupun dengan kepala, karena kain tenda bergerak sangat kencang tertiup angin. Kami takut kain tenda robek. Semua badan saya terasa dingin terutama bagian punggung karena saya mendorong sisi tenda dengan punggung. Saat itu kami sudah pasrah pada bantuan Yang Maha Kuasa. Pukul 1 pagi badai berkurang tetapi hujan masih tetap deras. Pukul 5 pagi badai dan hujan benar-benar berhenti. Pukul 6 kami keluar denan lega. Udara sejuk tapi dingin kami nikmati sambil melenturkan badan dan kaki yang semalaman harus ditekuk karena banyaknya orang dalam tenda. Pagi itu suasana sangat cerah. Sekitar pukul 7 sunrise mulai kelihatan dan gunung Sindoro terpampang di depan kami begitu jelasnya. Sawah dan perkampungan penduduk terlihat bagitu cantiknya. Mungkin badai ini adalah scenario Tuhan agar perjalanan kami menjadi lebih seru dan kami bisa menyaksikan keindahan sunrise. Pasalnya hampir seluruh perjalanan kami sebelumnya ditemani kabut. Setelah memasak dan sarapan sisa logistic, kami langsung packing untuk segera melanjutkan perjalanan turun. Kami sampai di Basecamp Garung sekitar jam 4 sore.
Ternyata Puncak Buntu bukan puncak tertinggi Gunung Sumbing, berdasarkan keterangan porter (warga setempat) ada jalur untuk menuju Puncak Sejati. Pertama kita harus menuju Puncak Kawah, menyusuri pinggiran kawah, turun terjal mengikuti jalur menuju tanjakan vertikal ke Puncak Sejati. Dari observasi lapangan sangat dibutuhkan keahlian Rock Climbing untuk mencapai titik triangulasi sejati.Untuk kesempatan kali ini kami hanya sampai Puncak Buntu. Secara personal, ada sedikit kekecewaan ketika melihat ada titik yang lebih tinggi dari tempat kami berdiri. Saya sempat terdiam tanpa makna beberapa menit, menatap penuh harap, kemudian tentu tetap bersyukur sudah sejauh ini. Untuk saya, ini kode ‘datang lagi suatu hari’, mungkin ke Puncak Kawah, Puncak Sejati, atau mungkin juga turun ke Kawah, InsyaAllah.
[caption id="attachment_262841" align="alignleft" width="300" caption="pasar watu"][/caption] [caption id="attachment_262839" align="alignleft" width="300" caption="tunjuk gadis desa dari Pestan!"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H