Hubungan antara “kesejahteraan” dan “keamanan” sering dianalogikan bagai telur dan ayam. Sulit kita tentukan mana yang lebih dahulu di antara keduanya. Bahkan banyak kalangan menganggap kesejahteraan jauh lebih penting dibandingkan dengan keamanan.
Apakah benar demikian? Seolah stabilitas keamanan hanyalah anak tiri dalam derap pembangunan?
Realitanya, keamanan itu begitu mahal dan merupakan komoditi langka di berbagai belahan dunia. Negara kita yang saat ini relatif aman dan stabil, sering pula merasakan begitu langka dan mahalnya rasa aman itu.
Tidak terhitung hutang budi kita atas perjuangan mulia generasi pendahulu Bangsa dalam mewujudkan rasa aman di negeri ini. Mereka merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, serta mempertahankan tetap tegaknya keutuhan dan kedaulatan NKRI dari berbagai rongrongan, baik berasal dari dalam maupun luar negeri.
Sebagai kalangan yang sangat akrab dengan aparatur keamanan, kami sangat memahami betapa mahal dan berharganya rasa aman itu. Hal ini kami rasakan terutama paska reformasi, saat situasi keamanan negeri kita tercinta sungguh carut marut.
Tidak kita pungkiri, reformasi membawa angin segar Demokrasi di negeri ini, setelah lama terkungkung di bawah otoritarianisme Orde Baru. Sangat disayangkan, terbukanya keran kebebasan atas nama demokrasi juga membuka peluang penafsiran arti kebebasan yang melebihi batas kepatutannya. Ibarat sebuah pegas yang terlepas bebas. Bebas sebebas bebasnya.
Euforia kebebasan ditambah dengan lepasnya Timor Leste paska jajak pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999, tak ayal pula menggugah sentimen primordial sebagian anak Bangsa. Sentimen yang sebelumnya terbungkus rapi dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, sontak menjelma menjadi semangat primordialisme dalam beragam konflik horizontal antar kelompok masyarakat maupun konflik vertikal antara gerakan separatisme berhadapan dengan pemerintah.
TNI dan POLRI yang tengah tertatih-tatih melalui proses reformasi, sungguh sibuk berhadapan dengan bangsanya sendiri. Banyak yang mengira para prajurit sepenuhnya merasa bangga dengan apa yang mereka kerjakan. Kita lupa bahwa mereka juga manusia yang memiliki jiwa dan rasa dibalik latihan dan tempaan untuk bertempur membela keutuhan dan kedaulatan NKRI yang dicintainya. Batin mereka sesungguhnya meratap pilu saat berhadapan dengan saudara mereka sendiri, sebangsa setanah air.
Pengalaman seorang sahabat saya merefleksikan konflik batin ini. Ia merasa sangat terpukul saat seorang anggota gerakan separatis mengucapkan kalimat syahadat sebelum wafat tertembus peluru pasukannya. Ia meyakini itu adalah suatu kematian yang syahid. Suatu peristiwa yang memunculkan berjuta pertanyaan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, ia atau mereka? Walau ia berkeyakinan bahwa membela Bangsa dan Negara adalah sebagian dari iman.
Batinnya pun kembali terkoyak melihat anak-anak seusia anaknya, serta masyarakat yang tidak berdosa justru menjadi korban dari konflik tanpa ujung tersebut. Ia teringat keluarga yang ia tinggalkan di rumah. Ia mempertanyakan dalam kebisuan, kapan konflik ini berahir? Kemana masa depan cerah bagi mereka? Seandainya ia adalah mereka, apa yang sanggup ia lakukan? Ia pun menyadari bahwa setiap manusia saat dilahirkan tidak pernah bisa memilih orang tua, suku, bangsa maupun Negara sesuai keinginannya.
Mewujudkan rasa aman bukanlah suatu hal mudah, sepele, nan gampang. Terlebih lagi bila dihadapkan dengan kompleksitas dan kemajemukan Indonesia sebagai suatu Bangsa dan Negara.
Sepatutnya kita bersyukur, saat ini negeri kita bukan hanya relatif stabil dalam hal kesejahteraan, namun juga dalam stabilitas keamanan. Berdasarkan nominal GDP kita saat ini menduduki peringkat 16 Dunia yang mengantar kita menjadi anggota G 20. Semenjak tsunami Aceh 2004, satu per satu permasalahan keamanan terurai dan terselesaikan dengan baik. Bahkan apabila kita mau jujur, stabilitas keamanan dibawah pemerintahan SBY layak kita acungi jempol. Pemerintah berhasil meredam beragam potensi konflik baik dari dalam maupun luar negeri, serta mengelola penyelesaian potensi konflik tersebut secara arif dan mengedepankan rasionalitas, bukan sekedar emosionalitas belaka.
Stabilitas keamanan dengan tetap menjunjung tinggi sendi dasar Demokrasi merupakan kunci mendasar pembangunan kesejahteraan. Mewujudkan stabilitas keamanan di tengah proses berseminya demokrasi sungguh penuh tantangan. Tentunya berbeda dengan situasi tanpa adanya demokrasi seperti di Korea Utara, saat kebebasan pribadi dengan mudahnya dikorbankan atas nama stabilitas dan keamanan Negara.
Pembangunan kesejahteraan sangat memerlukan stabilitas keamanan, sebagai penopang utama pesatnya pertumbuhan perekonomian dan sendi-sendi kesejahteraan masyarakat. Hasil dari kemajuan pembangunan sebagian juga dikembalikan untuk memperkuat dan memodernisasi alutsista pasukan, guna memperkokoh sendi-sendi stabilitas keamanan dan menjaga kedaulatan NKRI.
Saat ini, banyak kalangan yang menganggap stabilitas keamanan sebagai “angin lalu,” karena situasi relatif stabil, aman, dan kondusif. Sungguh wajar mereka berpendapat demikian, di kepala mereka kesejahteraan adalah hal paling utama yang harus dikejar. Keamanan ibarat “jas hujan” yang sungguh lucu dikenakan saat tidak turun hujan.
Namun perlu diingat bahwa sering kali kita baru “menyadari arti penting sesuatu, saat kita kehilangan hal tersebut.” Namun sungguh terlambat dan berujung penyesalan belaka.
Kita pasti merindukan situasi aman ini suatu saat nanti…
Apabila kita gagal menjaga dan merawatnya dengan baik dan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H