Ada salah satu kearifan lokal kita yang tercermin dalam pepatah berbahasa Jawa “sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati.” Terjemahannya adalah “seujung jari sentuhan di dahi, sejengkal tanah, nyawa taruhannya.” Terjemahan bebasnya “kehormatan” dan “kedaulatan” adalah harga mati yang kita rela membelanya bahkan hingga “pecahing dada wutahing ludira" atau “pecahnya dada dan tumpahnya darah.” Alias “menyabung nyawa hingga titik darah penghabisan.”
Akan tetapi, sering kita hanya memenggalnya sampai disini. Masih ada kaitannya dengan pepatah yang menyebutkan “ojo nganti kalah wirang menang ora kondang.” Atau “Jangan sampai justru kalah dengan menanggung malu ataupun menang tanpa menjadi terkenal.” Dengan kata lain melakukan sesuatu hal yang justru merugikan kita sendiri.
Emosi sangat menghalangi rasionalitas kita, sehingga menjadikan kita kalah “smart.” Bahkan kita sering diperdaya dan diperalat lawan-lawan kita apabila terlalu mengedepankan perasaan, emosi, keangkuhan, dan kesombongan serta melupakan pentingnya kesabaran, kearifan, rasionalitas, kecerdasan dan kebijaksanaan.
Terlintas dalam ingatan saya penuturan pengalaman seorang sahabat karib saya yang berdinas di TNI.
Ia ditugaskan di perbatasan RI-Timur Leste medio 2000. Saat itu Timur Leste belum genap setahun melepaskan diri dari RI pasca Jajak Pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999.
PKF (Peacekeeping Forces) yang berasal dari Australia di sisi seberang perbatasan sering memperlihatkan arogansinya, bahkan helikopter tempurnya tanpa ragu melintas di atas pos perbatasan yang dia komandoi. Padahal pos tersebut terletak sekitar 200 meter dari perbatasan darat kedua negara.
Sebagai perwira yang juga mengemban tugas sebagai Liaison Officer atau perwira penghubung bagi TNI-PKF. Ia melaporkan“air violation” atau pelanggaran udara tersebut kepada PKF Australia melalui saluran telepon yang menghubungkan kedua pos, kepada atasannya melalui radio komunikasi, serta melaporkan langsung kepada UNMO (United Nations Military Observer) yang berlokasi tepat disamping posnya.
Akan tetapi, laporan atau tepatnya komplain tersebut sepertinya tidak digubris. Terjadi “air violation” yang kedua di hari berikutnya. Sejujurnya ia sudah kehilangan kesabaran, namun ia tetap melaporkan pelanggaran udara tersebut sesuai prosedur, disertai komplain keras agar tidak terulang pelanggaran yang sama.
Ternyata, keesokan harinya, laporan serta komplain keras tersebut tidak mempan juga. Bahkan helikopter Australia yang melaksanakan patroli perbatasan melakukan hoover (terbang statis dengan ketinggian rendah) di atas pos nya yang berdinding pelepah sagu dan beratap daun sagu.
Batas kesabarannya sudah habis, namun unit yang dipimpinnya tidak memiliki senjata anti pesawat udara. Disamping itu, seandainya menembak dengan persenjataan ringan yang ada, mustahil menembak jatuh helikopter PKF tersebut tanpa menimbulkan dampak negatif terkait berupa pelanggaran HAM berat atas pasukan pemelihara perdamaian PBB. Helikopter itu juga sangat mungkin membalas tembakan yang dapat menghancurkan pos serta menewaskan anggota TNI di dalamnya.
Bukan emosi yang dikedepankan, ia mencoba berfikir jernih agar lebih “smart” daripada sang Arogan. Ia perintahkan tiga orang anak buahnya menggulung matras tidur mereka yang terbuat dari lembaran karet berwarna hitam hingga menyerupai roket anti tank. Selanjutnya membawa keluar dan membidikkanmatras tidur tersebut ke arah helikopter yang tengah hoover di atas posnya.
Persis seperti dugaannya, helikopter yang melihat tiga matras hitam mengkilat mengarah kepadanya segera terbirit-birit melarikan diri kembali ke arah Timor Leste.
Tidak begitu lama, ia dihubungi oleh PKF, UNMO, maupun atasannya terkait “intention” atau niatannya menembak jatuh helikopter PBB.
Kepada atasannya ia menjelaskan bahwa kedaulatan RI tidak dapat diganggu gugat. Atasannya juga paham sekali bahwa tidak ada senjata anti pesawat terbang yang dimiliki unit yang dikomandoi sahabat saya itu. Selanjutnya dia mendapatkan arahan dan diberi kepercayaan untuk meng-handle permasalahan tersebut secara tepat.
Kurang dari setengah jam, Komandan Kompi PKF dan UNMO segera menggelar pertemuan dengan TNI yang diwakili oleh sahabat saya di perbatasan. Dalam pertemuan itu, ia menekankan bahwa “kedaulatan RI adalah harga mati, dan setiap pelanggaran udara berarti sah bagi TNI untuk menembak jatuh pesawat tersebut, karena Pasukan PBB yang profesional sepatutnya mengerti dan menghargai Bangsa yang merdeka dan berdaulat seperti Indonesia”
Alhasil, keesokan paginya, digelar TCWG (Tactical Coordination Working Grup) mendadak antara Komandan Sektor PKF dan Komandan Sektor TNI.
Topik pertama yang disampaikan oleh Komandan Sektor PKF adalah laporan bahwa “Pilot helikopter yang melakukan air violation telah dikembalikan ke Australia.” PKF juga "memberlakukan batas gerak maju patroli udara di perbatasan maksimal 2 Km dari perbatasan, sehingga mencegah terjadinya pelanggaran udara berikutnya."
Tentu saja, setelah diberlakukan larangan tersebut, hilang sudah kesempatan bagi anggota-anggotanya untuk menyaksikan helikopter-helikopter canggih yang tidak dimiliki oleh TNI dari jarak dekat.
Namun, yang maha penting, berbekal rasionalitas serta kedewasaan berfikirnya “Kedaulatan Bangsa tetap tegak berdiri dengan kokoh dan tidak terusik oleh arogansi asing.”
-- Bersambung --
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H