Mohon tunggu...
Yudhistira Mukti Wicaksana
Yudhistira Mukti Wicaksana Mohon Tunggu... -

Berusaha menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat banyak dengan tanpa henti belajar dan berbagi hal-hal positif untuk bersama-sama membangun dan mencerdaskan bangsa dengan menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami (Bagian 2)

15 Februari 2014   21:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Bagian pertama menceritakan tentang helikopter Australia yang terpaksa berhadapan dengan gulungan matras tidur prajurit TNI. Sedangkan pada bagian kedua ini, kembali diwarnai cerita yang dituturkan oleh sahabat karib saya saat bertugas di perbatasan RI-Timor Leste, sekitar pertengahan tahun 2000.

Bagian kedua ini berkaitan dengan upaya mencairkan ketegangan hubungan dan membangun hubungan positif antara pasukan TNI dan PKF (Peacekeeping Forces) Australia dengan menggunakan kearifan budaya lokal Indonesia yang begitu luhur.

Kearifan itu berupa larangan untuk “adigang, adigung, dan adiguno” dalam menyelesaikan permasalahan. Atau dengan kata lain jangan mengedepankan kekuatan, kedudukan, maupun kepandaian belaka. Bukan pula hanya dengan mengumbar arogansi dan emosi, namun secara rasional membangun kepercayaan dan kerjasama dengan mitra kita, sehingga kedaulatan Bangsa tetap tegak dan tidak dengan mudahnya dilecehkan.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahwa sering kali perilaku PKF Australia di perbatasan sangat arogan. Bahkan sebelum sahabat saya menempati pos perbatasan tersebut, pernah terjadi kontak tembak antara PKF Australia dengan TNI pada tanggal 10 Oktober 1999 yang menewaskan dua orang anggota Brimob.

Selanjutnya dapat ditebak, komunikasi serta koordinasi antara TNI dan PKF sangat minim dalam kualitas. Hubungan keduanya juga penuh dengan ketegangan dan saling curiga. Padahal sinergi dari kedua pasukan di kedua sisi perbatasan mutlak diperlukan, untuk mengawal stabilitas keamanan perbatasan, yang masih sangat rentan.

Dapat dimengerti memang pisahnya Timor Leste menyisakan banyak kekecewaan, terutama dari sisi yang berkaitan dengan Indonesia. Di sisi lain memberi ruang bagi Australia untuk leluasa menunjukkan arogansinya sebagai pelindung bagi negara yang baru lahir ini.

Namun demikian, dibalik kekusutan emosi itu, selayaknya pikiran positif tetap harus kita hidupkan. Kita harus pedomani dan hormati bahwa Pasukan Australia bekerja di bawah mandat PBB. Sehingga kita mampu menempatkan setiap situasi dan permasalahan dalam konteks yang tepat, dan bukan sekedar emosi belaka.

Cerita berawal dari niat baik PKF Australia untuk memecah hambatan komunikasi antara kedua pos di perbatasan. Mereka merencanakan untuk menggelar saluran telepon berbasis kabel antara kedua pos tersebut. Hal ini diharapkan dapat mempermudah dan mempersingkat jalur komunikasi dan koordinasiyang selama ini sangat jauh dari kata efektif dan efisien karena mengadalkan peran UNMO (United Nations Military Observer) sebagai messenger atau pengirim pesan antara kedua pos tersebut.

Sebagai ilustrasi, kedua pos pengaman perbatasan berada di tepi pantai. Kedua pos berjarak sekitar 400 m, dengan sungai perbatasan terletak di tengah-tengahnya.

Setelah menerima informasi dari UNMO bahwa jaringan telepon siap di gelar, sahabat saya itu segera menuju bibir pantai yang menghubungkan kedua sisi perbatasan.

Terlebih dahulu, ia memerintahkan anggotanya yang tengah bertugas mengawasi perbatasan di menara pengawas, untuk tidak mengarahkan senjata mereka ke arah prajurit PKF Australia yang hendak memasang jaringan telepon.

Melalui teropong ia melihat tiga orang bersenjata lengkap serta menggunakan rompi anti peluru tengah menggelar kabel telepon mendekati sungai perbatasan.

Bergegas ia berlari menuju mereka. Ia menyadari kekakuan hubungan antara kedua pasukan pengaman perbatasan bukan hanya permasalahan teknologi melainkan juga masalah kepercayaan yang belum ada antara kedua pasukan penjaga perbatasan. Sambil berlari ia merancang suatu skenario untuk mencairkan kekakuan tersebut di benaknya.

Setelah mendekat, ia melihat Komandan Peleton PKF Australia berpangkat Letnan Satu dengan dibantu dua orang anggotanya berpangkat private atau tamtama tengah memasang kabel telepon. Ia pernah bertemu sekali dengan perwira Australia itu di jembatan sungai perbatasan, dalam rangka mengkoordinasikan dan membahas isu-isu perbatasan.

Sahabat saya menghentikan ketiga prajurit Australia itu. Dengan halus ia katakan “Tolong, jangan lanjutkan pemasangan jaringan telepon, apabila kalian masih menggunakan persenjataan lengkap memasuki wilayah kedaulatan Indonesia.”

Ia melanjutkan “Kami bukan prajurit bodoh yang tidak mengetahui aturan internasional, kami tidak pernah berkeinginan dibawa ke Den Haag untuk diadili karena menyerang pasukan pemelihara perdamaian PBB.”

Seraya menunjuk ke arah posnya, ia katakan “Kalian bisa melihat prajurit saya di menara pengawas, tidak satupun dari mereka membidik kalian.” Sambil tersenyum ia katakan “Saya hanya mengijinkan kalian meneruskan pemasangan, apabila kalian tidak membawa senjata dan tidak menggunakan rompi anti peluru. Persis seperti yang saya kenakan saat ini.”

Ia menjelaskan, “Hal ini sesungguhnya berkaitan dengan kepercayaan. Sayang sekali karena kepercayaan itu tidak pernah ada di antara kita.”

Perwira PKF menjawab “Maaf, ini adalah SOP (Standard Operation Procedure) kami, dan kami tidak bisa melanggarnya, namun kami akan melaporkan hal ini segera.”

Sahabat saya kembali menegaskan bahwa “Pemasangan tetap tidak boleh dilakukan apabila syarat yang ia sampaikan tidak dipenuhi oleh PKF Australia.” Sehingga ketiga prajurit PKF Australia tersebut bergegas kembali ke pos mereka untuk melapor kepada atasannya.

Sekitar seperempat jam kemudian, terlihat dua orang PKF Australia melanjutkan penggelaran kabel telepon tanpa membawa senjata maupun mengenakan rompi anti peluru. Tidak terlihat perwira PKF di antara mereka, hanya dua tamtama yang mengerjakannya.

Saat kedua prajurit itu cukup dekat dengan Pos TNI, terlihat keringat deras mengalir di dahi dan kedua pipi mereka, mungkin mereka kepanasan dan kelelahan.

Namun jelas terlihat pula, kedua tangan, tubuh dan bibir prajurit itu bergetar hebat, seperti ketakutan setengah mati. Mereka bahkan kesulitan menjawab saat sahabat saya menyapa mereka. Telepon lapangan yang hendak dipasang pun berulang kali terjatuh, karena gugup yang amat sangat, saat memasuki pos TNI.

Dengan canggung dan tangan gemetar mereka menyelesaikan pemasangan jaringan telepon, hingga tergelar dan berfungsi sempurna.

Namun sahabat saya melarang kedua prajurit itu kembali, ia mempersilahkan keduanya duduk di meja yang telah dipersiapkan lengkap dengan air minum dan makanan ringan di atasnya. Ini adalah adat dan budaya kita untuk memuliakan tamu.

Ia memanggil seluruh anggotanya yang tidak bertugas, untuk menemui mereka. Sontak, kedua kedua prajurit Australia itu terlihat sangat ketakutan.

Namun, suasana segera mencair setelah sahabat saya memerankan dirinya sebagai interpreter atau penterjemah dari kedua kelompok manusia berbeda bahasa itu.

Dalam waktu singkat ruangan dipenuhi gelak canda tawa, bahkan prajurit TNI menyematkan brevet para di baju kedua PKF tersebut, serta memberi mereka oleh-oleh berupa kaos dan topi loreng kepada kedua prajurit tersebut.

Tak ayal, hal ini memicu kekhawatiran luar biasa dari Komandan pos PKF berkaitan dengan keselamatan anggotanya. Lebih dari dua puluh kali dalam waktu setengah jam, ia menghubungi melalui saluran telepon yang baru digelar. Dan mendapatkan jawaban dari sahabat saya bahwa “Kedua anggotanya aman dan belum ingin kembali, serta kembali diingatkan untuk jangan berhenti menumbuhkan kepercayaan yang belum pernah ada diantara kedua pasukan.”

Beberapa hal menarik terungkap dari mulut kedua prajurit Australia itu, bahwa mereka mendapatkan perintah untuk mewaspadai prajurit TNI, yang sangat terlatih dalam pertempuran hubungan satuan kecil. Pasukan TNI merupakan musuh atau bahasa halusnya adalah “ancaman” bagi mereka, disamping kelompok-kelompok milisi pro-otonomi. Sehingga mereka cenderung bersikap arogan untuk mengalihkan ketakutan mereka.

Setelah mengetahui betapa teguhnya TNI berdedikasi menegakkan kedaulatannya, serta begitu akrabnya mereka menyambut tamu yang datang, mereka berjanji menyampaikan semuanya kepada Komandannya. Mereka ingin menyarankan agar PKF Australia merubah arogansi yang sejatinya tidak perlu mereka tunjukkan, mengingat pentingnya peran TNI sebagai mitra yang sejajar dalam mengamankan kedua sisi perbatasan. TNI sungguh bersahabat dan professional, jauh dari bayangan di benak mereka sebelumnya.

Setelah sekitar 45 menit bercengkrama dengan prajurit TNI, kedua prajurit tersebut pamit kembali ke posnya.

Berdasarkan laporan anggotanya, Komandan Pos PKF segera menghubungi sahabat saya seraya mengucapkan permintaan maaf atas kelakuan mereka selama ini. Ia juga berjanji mengakomodasikan permintaan sahabat saya, yaitu “Membawa tiga orang prajurit setiap pertemuan rutin hari senin di jembatan perbatasan.”

Kelanjutannya dapat ditebak, setiap Senin pagi kedua perwira serius membahas dan mengkoordinasikan beragam permasalahan perbatasan. Sedangkan keenam prajurit dari dua negara berbeda, sangat kontras apabila dilihat dari perbedaan warna kulit, bahasa dan adat istiadat, justru lebih asyik bersenda gurau dengan menggunakan “Bahasa Planet” masing masing dengan diperjelas bahasa isyarat tubuh.

Lucu, namun membuktikan bahwa manusia adalah sama walau sekilas berbeda. Mereka bisa berkomunikasi dan akrab walau tanpa jembatan bahasa. Mereka justru menemukan dan membangun jembatan baru yaitu trust atau kepercayaan.

Mission accomplished!

Pelajaran berharga, bahwa komunikasi bukan hanya bermakna terhubung dengan tergelarnya perangkat dan teknologi…

Yang lebih penting dibalik itu adalah kepercayaan serta eratnya hubungan interpersonal. Sehingga terwujud suasana harga menghargai, hormat menghormati, serta saling percaya dengan bungkus niatan baik dari kedua belah pihak.

Dengan cairnya ketegangan dan lahirnya kepercayaan, pelik permasalahan perbatasan berikutnya justru dapat dengan mudah diselesaikan bersama. PKF Australia kini menyadari bahwa stabilitas keamanan berasal dari kedua belah pihak di kedua sisi perbatasan, bukan hanya dari mereka saja.

Sensitifitas antara kedua pasukan yang berpotensi memicu konflik, kini lenyap bersama dengan sirnanya arogansi PKF Australia.

-- bersambung --

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun