Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saat Noise Menjadi Voice di Social Media

25 Februari 2015   04:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku pengguna social media ditanah air sangat beragam, mulai dari pemula hingga pecandu wadah berbagi ini, pun termasuk Kompasiana.

Bagaimanapun arus informasi kini berjalan begitu deras, bahkan media anti mainstream layaknya social media menjadi barometer baru dari riuh pembicaraan diranah publik.

Bahkan berita posting di Kompasiana kerapkali kemudian diambil alih oleh media mainstream sekandung yakni Kompas, namun hal itu adalah simbiosa secara mutualisme, karena medium komunikasi di arus utama harus menjangkau apa yang terdengar diarus bawah yang begitu bergejolak.

Tidak semua hal di social media bernilai informasi, bahkan bila hal itu informatif sekalipun belum tentu berbobot serta berdampak meluas mewakili kepentingan publik, bahkan diketahui beberapa fake account sengaja diciptakan untuk membuat kekacauan, hingga terjadi distorsi informasi.

Imbas yang terberat kemudian adalah isu yang disalah gunakan tersebut kemudian menyusul emosi publik yang mudah sekali mengikuti sentimen tertentu yang memang sengaja diciptakan untuk kepentingan tertentu.

Informasi bisa bernilai penting bila digunakan dengan benar, namun dapat pula menjadi salah bila dipakai untuk kepentingan seelintir, meski kita paham bahwa durasi isu di social media terkadang mampu berubah dalam sekelebat mata saja.

Interferensi Frekuensi atas Noise

Bagaimana kemudian kita mampu memilah informasi bernilai kebenaran dari informasi yang hanya menjadi pengganggu? Disini letak kedewasaan audiens dalam ber-social media, konten dalam hal ini isi dari materi pembicaraan, harus dicerna secara utuh dan dilakukan self screening, butuh waktu memang melakukan edukasi bersosial media.

Terlebih perilaku ber-sosmed dimasa kini telah menjadi bagian hidup, yang mempublikasi hal privat dan memunculkan fase aktualisasi diri dalam berbagai bentuk dan ragamnya.


Mengubah perilaku user social media dari yang bersifat emosional menjadi rasional tentu bukan barang mudah, namun edukasi publik harus dimulai dengan berbekal prinsip bahwa ber-sosmed harus memberikan manfaat dan dampak positif bagi diri pribadi dan orang lain.

Karena pada hakikatnya setiap orang memberi respon baik hanya kepada stimulus positif. Prinsip sederhananya, sesuatu yang berbau harum serta indah maka kupu-kupu lah yang datang, namun manakala aroma busuk merebak maka sudah pasti lalat-lah pengunjungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun