Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Petral yang Terpental

24 September 2014   17:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:41 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi (Sumber: Kompas.com)"][/caption]

Nampaknya arah kebijakan dalam pengelolaan tata import minyak nasional disebut-sebut akan mengalami perubahan, dikarenakan rencana penutupan Petral, entah apakah hal tesebut akan menjadi satu arahan yang direalisasikan atau sekedar wacana publik semata.

Petral atau PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), memiliki sejarah panjang trading minyak, dahulu berpusat di Hongkong pada 1969, lalu berpindah ke Singapura. Sempat pula dimiliki keluarga Cendana dengan proporsi saham Tommy Soeharto (25%) dan Bob Hasan melalui Nusamba Group (25%) ketika masih bernama Perta Oil berbendera Perta Oil Marketing Ltd (POML) medio 1970-an.

Secara prinsip keberadaan perusahaan ini adalah anak usaha Pertamina, dengan kepemilikan saham 100% dan diberi mandat penuh untuk melakukan urusan trading, sekaligus menjadi market intelligent bagi Pertamina akan informasi baru dan akurat dibisnis emas hitam.

Misi yang mulia belum tentu akan tetap mulia pada pelaksanaannya, skema pembelian yang ditengarai tidak terbuka hingga interupsi tangan-tangan halus, muncul seiring dengan membengkaknya kebutuhan minyak dalam negeri yang harus ditutup dengan menggunakan jalur importase.

Bahkan keberadaan di Singapura yang terbilang jauh dari aspek pengawasan secara langsung dari pusatnya di Indonesia semakin menumbuhkan prasangka yang sulit ditolak. Meski demikian, sesuai dengan apa yang dituturkan Dahlan Iskan -Meneg BUMN bahwa Petral berada dibasis perdagangan minyak dunia, tunduk atas supremasi hukum negeri Singa agar tehindar dari intervensi politik lokal.

Masih saja jawaban itu tidak memuaskan banyak pihak, pun termasuk karena letak yang berjauhan dapat memungkinkan terjadinya manipulasi, bahkan kekeliruan koordinasi, termasuk memanfaatkan senjang komunikasi menjadi lubang keuntungan yang menganga bagi kepentingan segelintir pihak.

Kita banyak belajar dari Kasus Bail Out Century yang ternyata selisih data bergeser dari Rp632Miliar menjadi Rp6.7 T, tentu timbul kekhawatiran tersebut. Tidak menjadi jaminan pula tunduk pada hukum negara lain, membuat tangan kekuasaan tidak merambah melintas batas negara.

Terlebih kemudian disebutkan bahwa alasan pembelian yang dilakukan dengan trader akan dapat memberikan keuntungan, terlebih karena harga bisa lebih murah dibandingkan melakukan pembelian langsung.

Disini kita pun akan kembali bertanya, dalam konteks logika ekonomi, tenaga perantara memiliki nilai biaya tambahan dari sekedar biaya produk asal, sudah barang tntu harga akan menjadi bertambah. Katakanlah soal pembelian langsung yang Direct berskema G2G maka yang harus dicermati adalah membangun format komunikasi bisnis yang sistematik sehingga mendapatkan harga kompetitif.

Tentu keanehan itu menjadi praduga yang bertambah, karena asumsi yang dibuat memposisikan trader minya memiliki superioritas power untuk bisa berkomunikasi dengan negara penghasil minyak mentah dibandingkan jalinan komunikasi yang dibangun dengan menggunakan jalur bisnis antar negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun