Kebetulan hari itu saya hadir di acara penutupan praktik tematik rawatan Lansia Akademi Keperawatan Berkala Widya Husada di Panti Sosial Tresna Werda III Jakarta.
Hadir pada acara tersebut, para Opa dan Oma yang masih sanggup beraktifitas, untuk bersama menikmati keakraban, sebagai tanda perpisahan serta bentuk terima kasih dari para mahasiswa setelah fase praktikal dilalui.
Terpaku sejenak, saya menatap satu persatu Opa dan Oma yang berkumpul diruang aula tersebut. Rambut yang telah memutih,rangkaian gigi yang tidak lagi lengkap, kulit yang mulai berkeriput hingga berbagai kesulitan lain yang dihadapi.
Hanya sebagian kecil yang dapat beraktifitas fisik dan berkumpul, sebagian besar lainnya bahkan sudah harus totally bedrest. Kriteria dasar penghuni panti adalah mereka yang berada diusia 60 tahun keatas.
Ironisnya, mereka yang terkumpul ditempat ini adalah hasil razia sosial yang dilakukan aparatur pemda DKI. Kapasitas tampung lokasinya hanya 270 penghuni dan sudahfull.
Hanya dapat direload penghuni baru ketika berkurang penghuni lama, alias saat ajal menjemput. Hasil statistik memperlihatkan bahwa 30% penghuni adalah Opa dan sisa mayoritas adalah Oma.
Dari data tersebut, hanya 10% diantara total seluruh penghuni yang masih memiliki keluarga (baca: ditinggalkan bahkan ditelantarkan), fakta ini sungguhlah menyakitkan.
Lebih jauh lagi, hampir 40% penghuni memiliki spektrum gangguan kejiwaan yang ringan. Logika saya berputar diperubahan sosial yang terjadi, terutama ketika Opa dan Oma hidup dijalanan, lalu dimukimkan di panti sosial.Â
Pasti ada goncangan, termasuk ketika saat pertama kali Opa dan Oma tersebut harus mampu bertahan hidup dikerasnya kehidupan jalanan.
Berbagai penurunan fungsi fisik adalah ciri khas dari manula, tapi disini mereka bertemu sesamanya. Pikun? Sudah pasti. Sekelebat lalu saya berpikir tentang bagaimana refleksi saya 30 tahun yang akan datang?.
Apa yang tampak sekarang hakikatnya bukan keabadian, hiasan sementara yang diamanahkan. Termasuk usia dan raga kita, kesombongan adalah musuh terbesar dari kodrat manusia, akan takdirnya yang hanya sepersinggahan waktu.