Kondisi langka adalah sebuah hal yang terjadi akibat senjangnya kebutuhan dari persediaan, dalam aspek ekonomi, maka kelangkaan terjadi ketika permintaan melebihi kemampuan sumberdaya dalam memenuhinya.
Pada bentuk grafik supply vs demand, maka pertemuan antara upaya pemenuhan dan garis kebutuhan itu akan membentuk harga keseimbangan.
Kali ini, kelangkaan BBM bersubsidi terjadi, menyeruak serta menjadi pemberitaan media cetak, radio maupun televisi pada saat yang bersamaan.
Indikasi pembatasan yang dilakukan Pertamina selaku penyedia kebutuhan BBM bersubsidi, merupakan siasat untuk menghindari terjadinya over kuota penggunaan.
Hal tersebut tentu berkaitan dengan anggaran negara, serta merupakan langkah tersingkap untuk mengurai benang kusut soal subsidi BBM.
Dipatok kuota BBM bersubsidi dalam revisi 2014 yang berada pada volume 46 juta kiloliter harus dihemat agar tidak kebobolan, caranya dengan mengirit distribusi, disinilah soal terkait hal kelangkaan itu timbul.
Ketiadaan langkah alternatif yang diajukan dalam upaya menjawab persoalan terkait BBM bersubsidi membuat pemerintah tampak ambigu dalam banyak kebijakan.
Pembangunan infrastruktur bagi transportasi massal yang layak dan manusiawi tidak kunjung dimulai secara komprehensif dan berkelanjutan, terlebih kebijakan otomotif dalam aspek produksi mobil murah justru dipersetujui.
Belum lagi kegagalan dalam mendorong switching konversi bahan bakar ke gas yang tak kunjung tuntas, ditambah dengan perilaku konsumen domestik yang belum teredukasi akan pentingnya anggaran keuangan negara nan sehat.
Setiap hari kemacetan hadir di Ibukota, menjadi bagian keseharian yang tidak terpisahkan, bisa dibayangkan nilai bahan bakar yang terbuang dan tersia-sia.
Sektor dan pilihan moda transportasi yang buruk mengakibatkan tidak hanya bengkak biaya konsumsi BBM, tetapi juga membuat waktu tempuh dan harga akhir semakin meningkat, termasuk produktifitas langsung yang hilang karena waktu produktif yang tergerus kemacetan.