Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hukum Pareto pada Tinjauan Pengampunan Pajak

1 September 2016   08:31 Diperbarui: 1 September 2016   08:46 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Konsepsi hukum Pareto 20/80, sesungguhnya merupakan sebuah ilustrasi normalitas yang terjadi didunia. Pada kondisi kesetimbangan normal, maka distribusi kekayaan akan terkonsentrasi di 20% penduduk yang mendominasi 80% dari total seluruh kekayaan kumulatif. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa mayoritas populasi yang sebanyak 80%, hanya akan berbagi kue kekayaan dengan jumlah hanya 20% saja. Apa hubungannya hukum Pareto dengan pengampunan pajak sebagai sebuah program pemerintah?.

Kebijakan pengampunan pajak yang secara massif digencarkan, telah membuat semua pihak khususnya masyarakat dilapisan mayoritas yakni populasi yang 80% tadi, kini merasa sedang diawasi secara ketat bahkan menimbulkan ketidaknyamanan. Padahal bila mengacu pada konsep Pareto, fokus kerja pengumpulan sumber pendapatan negara melalui pajak akan lebih spesifik dan terarah. Konsep yang “gebyah-uyah” dengan menyasar seluruh penjuru, sangat mungkin bisa berakibat kekacauan.

Bila kemudian dipahami lebih lanjut, bahwa konsepsi pengampunan pajak yang dilancarkan sebagai program dibentuk sebagai upaya repartriasi, yakni mengembalikan harta kekayaan domestik atas eksploitasi sumberdaya alam lokal yang hasilnya diparkir diluar negeri, maka para pelaku ekonomi disektor tersebut dengan mudah diidentifikasi karena skala bisnisnya pasti tergolong bermodal besar. Dengan demikian kerja pengumpulan pajak lebih sesuai dan mengena, dalam makna sesuai dengan tujuan dan maksud program pengampunan pajak.

Kita tentu sangat miris melihat kerusakan alam yang terjadi akibat perilaku ekonomi yang tamak, terlebih kemudian hasil yang diperoleh tidak lagi masuk ke bumi pertiwi. Padahal, hasil transaksi perdagangan tersebut diharapkan dapat menjadi bagian yang menstimulasi gerak pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sayangnya, konsepsi pengampunan pajak terbilang “tajam” kebawah sementara “tumpul” keatas, karena informasi tentang denda dan ancaman pidana direproduksi sebagai bagian yang menyertai dari sosialisasi program tersebut.

Prinsip keadilan memang tidak menjadi bagian yang menyertai, dari perlakuan aturan pengampunan pajak. Ilustrasi yang sederhana sebagai berikut, bayangkan bila kemudian pelaku usaha kecil yang bisa jadi alpa, atau karena bisnisnya yang bersifat tunggal selaku pemilik sekaligus pekerja menyebabkan lupa dalam pelaporan pajak, maka secara langsung berhadapan dengan konsekuensi hukuman yang berat. Padahal pelaku bisnis kecil adalah mayoritas populasi Pareto yang 80%, dan menjadi pengerak pertumbuhan ekonomi dalam aspek yang setara dengan perusahaan besar.

Jika kemudian diurai dasar utama alasan ekonomi dari kebijakan pengampunan pajak, yang bermuara dari selisih defisit anggaran pembiayaan dan penerimaan negara. Terutama disebabkan oleh kelesuan ekonomi dunia, bahkan masuk dalam klasifikasi perlambatan ekonomi yang terlihat pada rendahnya pertumbuhan negara motor ekonomi dunia seperti China. Sesunguhnya faktor koreksi dalam upaya melakukan “balancing” sebagai penyeimbang adalah skema rasionalisasi program pembiayaan, ditambah dengan intensifikasi program penerimaan.

Tapi berharap sektor penerimaan membaik, tentu tidak semudah yang dibayangkan, kenapa? Karena kondisi ekonomi globalnya mempengaruhi kondisi domestik. Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong lebih banyak upaya stimulasi serta memberi insentif, untuk menggerakkan ekonomi melalui upaya menghidupkan sektor ekonomi menengah, kecil dan mikro. Bayangkan apa yang terjadi dengan kondisi psikologis pelaku usaha, tatkala sosialisasi pengampunan pajak diiringi dengan ancaman sanksi denda dan hukuman pidana.

Sebaiknya kita kembali pada prinsip sederhana, “besar pasak dari pada tiang”, maka kita harus pilih program prioritas yang menjadi hal utama dalam target pembangunan, mengingat ketersediaan kas negara yang terbatas. Kemampuan melakukan pengelolaan pemerintah bukan hanya soal menjalankan banyak program, tetapi memilih program yang berdampak meluas diantara setumpuk ajuan program adalah skill yang harus dimiliki. Kembali ke soal hukum dasar Pareto, sudah sebaiknya kita bisa berkaca hal yang besar dari hal yang sederhana dan kecil soal 20/80 tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun