Tidak pelak lagi kita di era informasi terbuka saat ini menjadi sebuah bangsa yang terus berayun dari satu isu publik ke isu yang lain. Bangsa ini selalu gaduh dalam riuh rendah kehebohan yang tidak berkesudahan.
Secara definitif, isu adalah keresahan massa yang muncul karena adanya kesenjangan antara harapan dan realita yang dipersepsikan oleh publik. Tidak semua isu memiliki makna, sebagian diantaranya adalah pepesan kosong yang sengaja dihembuskan untuk kepentingan tertentu.
Kemampuan manajerial dalam tim gugus tugas komunikasi pemerintah, perlu secara jeli melihat persoalan yang memiliki potensi bertumbuh menjadi sebuah isu yang berdampak pada terbentuknya sebuah opini publik.
Sejatinya kemunculan isu bermula pada tahap potensial menuju aktual dan berujung pada fase kritis, hal ini jelas membutuhkan resolusi sebagai bagian dari pengakhiran sebuah isu. Pada setiap fase respon cepat yang terukur sangat dibutuhkan.
Diera komunikasi dimana arus informasi terjadi layaknya tsunami, dan dunia menjadi terkoneksi serta semakin datar, maka berdiam diri dan bersikap seolah tidak mendengar justru menggumpalkan sikap antipati.
Memang tidak semua isu perlu ditanggapi, pemerintah hanya perlu membangun sensitifitas setidaknya dalam format common sense untuk melihat apakah isu yang berkembang perlu segera ditindaklanjuti dengan melihat esensi dari persoalan yang dimunculkan.
Belajar dari Salim Kancil
Kasus yang menarik pada periode belakangan selain soal asap, stok beras, nilai tukar hingga persoalan paket kebijakan ekonomi dalam menyedot perhatian publik adalah tragedi Salim Kancil petani pesisir yang berkalang nyawa menolak pertambangan pasir besi didaerahnya.
Apa hakikat perlawanan Salim Kancil? Siapa pihak-pihak terkait? Bagaimana pemerintah menyikapi dan belajar dari masalah tersebut?.
Potret buram penambangan liar tidak berijin yang merusak lingkungan serta ancaman keberlangsungan pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat yang terdampak perlu menjadi sorotan.
Problem agraria dan tata kelola lahan sesuai peruntukan, disertai dengan evaluasi atas perilaku pejabat penguasa daerah yang cenderung menutup mata, termasuk aparatur keamanan terkait yang tidak memberi perlindungan maksimal adalah point-point esensi dalam skala nasional.