Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bahaya Dibalik Logika “Investment Follow The Trade”

9 Oktober 2014   19:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:43 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dasar asumsi ketimpangan kemampuan dalam akses permodalan dan teknologi memang membuat Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 250juta jiwa ini menjadi sasaran empuk sebagai konsumen bagi berbagai produk asing.

Celakanya, kemudian kemampuan mandiri tidak juga tumbuh berkembang, sehingga kita tetap pada posisi sebagai objek pasif dan tidak bergeser sebagai subjek pelaku nan aktif. Sebagian kalangan menempatkan logika Investment follow the Trade sebagai konsekuensi logis dari posisi kita yang menjadi konsumen ditahap awal, untuk kemudian bertransformasi menjadi produsen kemudian.

Menarik untuk kemudian mencermati pernyataan Wakil Ketua Umum Bidang Koordinator Asosiasi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Noke Kiroyan menilai tidak ada salahnya Indonesia menjadi pasar dalam perdagangan regional dan global. Pasalnya, dengan menjadi pasar, lambat laun investasi pun akan berdatangan.

Pada konferensi pers Trade Expo Indonesia ke-29, Rabu (8/10/2014) Noke mengatakan, investasi dan perdagangan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. "Investment follow the trade, itu adalah rumus di dalam dunia internasional, yang berlaku juga bagi Indonesia. Jadi, tidak ada salahnya Indonesia menjadi pasar”.

Kasus yang digadang menjadi premis dari hipotesa tersebut adalah industri otomotif yang kemudian menempatkan Indonesia dari negara yang tadinya hanya menjadi lokasi perakitan assembling menjadi pengeskport Completely Build Up (CBU) dengan pendapatan U$ 4.5miliar ditahun ini.

Pada posisi yang sama, bila kita menggunakan dasar pemikiran serupa, sesungguhnya kita akan keliru memaknai alih teknologi dan alih investasi sebagai kewajiban pengembangan industri lokal. Benar kita mengekspor mobil sebagai sebuah kemampuan, namun produk tersebut masih mewakili brand import.

Jadi, kalau kita terlena akan pasar yang besar dan berbondong investor datang kedalam negeri, sehingga kita tidak mampu membangun kemandirian industri dan terus didikte oleh kepentingan investor asing, maka sebenarnya kita sadar bila telah terjebak dalam pola penjajahan modern.

Pasar yang besar harus dibarengi dengan insentif bagi inisiatif lokal dalam menguatkan industri nasional, ketergantungan kerap menjadi sandungan dalam membangun kekuatan mandiri. Ketika pasar terbuka, globalisasi memungkinkan free flow good, services, people and modals maka tidak terdapat keharusan untuk berinvestasi apapun, terlebih ketika bangsa ini hanya dijadikan sebagai kepentingan konsumtif, “you just a number for me” dalam logika sang industrialis mewakili investor asing.

Pada era pasar bebas seperti saat ini, maka jangan pernah berharap kepada pihak lain, bangun kemandirian sehingga kita digdaya diatas kemampuan diri kita sendiri. Berdikari dan berdaulat adalah dignity bagi bangsa yang besar dalam kuantitas tetapi masih harus terus berjuang menguatkan kapasitas kualitas kenegaraan sebagai sebuah entitas bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun