Sesak! Upaya revisi UU Penyiaran mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, tidak hanya oleh para awak media, namun juga oleh akademisi hingga publik secara luas.
Usul perubahan pada UU Penyiaran, berpotensi mempersempit ruang demokrasi. Tidak hanya itu, ruang kehidupan sosial itu juga semakin menyusut dan pengap.
Esensi terbesar dalam demokrasi adalah, kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Media sebagai sarana informasi dan komunikasi, sekaligus menjadi gelanggang bagi tampilnya berbagai pendapat yang berbeda, dan dengan itu proses edukasi, sosialisasi hingga diskusi publik terjadi.
Bahkan kerja pers dan media, yang menjadi juru bicara bagi kepentingan publik, dinyatakan sebagai pilar demokrasi.
Poin kunci dari keberatan akan RUU Penyiaran adalah larangan jurnalistik investigasi, termasuk membawa ranah sengketa pers ke jalur pengadilan.
Rumusan dari ajuan peraturan tersebut, seakan makin jelas memperlihatkan otot kekuasaan. Dimensi otoritarianisme membutuhkan stabilitas yang diperoleh melalui menebar ketakutan.
Suara berbeda dimaknai sebagai gangguan. Tidak diperbolehkan ada nada yang berlawanan. Pemegang kekuasaan seolah berhak menentukan mana yang benar dan salah menurut versinya, tanpa membuka tafsir lain.
Hal pokok dalam kerangka tugas pers adalah memastikan berpihak pada kebenaran, maka kumpulan fakta dan bukti akan dilampirkan.
Upaya investigasi, perlu dimaknai sebagai fungsi check and balances atas kekuasaan, ketika semua kanal politik formal mengalami kekosongan penyeimbang, alias oposisi.