Kalang-kabut! Akhir-akhir ini pembahasan mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi bahan pembicaraan publik, dalam sentimen negatif. Pengambil kebijakan tampak sibuk menjelaskan.
Bentuknya tabungan, disebut sukarela tapi dipotong sebagai kewajiban. Bahkan untuk para pekerja ada besaran 2.5 persen yang harus ditabung, plus 0.5 persen dari kantong pemberi kerja.
Produk Tapera merupakan amanat UU No 4/ 2016, untuk mengatasi kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan, dikenal sebagai backlog.
Sebagaimana banyak produk peraturan yang bersifat memaksa, maka parapihak terkait yang terkena dampak kebijakan ini secara bersamaan menolak, yakni kelompok pekerja dan pengusaha.
Bukan kebetulan, kedua pihak yang selama ini bertolak belakang, justru bersepakat untuk hal yang sama. Terlebih lagi, aspek substansi dan teknis belum mampu dijawab dengan terang benderang.
Jika bentuk dari regulasi ini adalah pemenuhan perumahan, yang terkategori sebagai kebutuhan primer, semestinya akan disambut antusias oleh publik.
Apalagi format dana kumpulan diformulasikan berupa tabungan, sebuah kebiasaan baik, upaya untuk menyisihkan penghasilan, menjadi investasi masa mendatang.
Problem sesungguhnya terletak pada ketidakpercayaan publik, akan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Latar psikologis publik masih dipenuhi dengan karut marut ragam korupsi. Banyak keraguan, tentu saja tidak mau alternatif investasi yang ditawarkan, ternyata memberi imbal hasil bodong.
Berbagai bentuk potongan wajib dari pendapatan yang diperoleh, menjadi beban tambahan. Sementara itu, biaya kebutuhan hidup juga mengalami kenaikan.
Boleh jadi keputusan peraturan ini, dirumuskan tanpa melalui proses pelibatan publik. Pada teori agenda setting, agenda publik seharusnya selaras dengan agenda kebijakan.