Safari politik! Kunjungan antar aktor politik tidak bisa dilihat dalam ruang hampa, lebih dari sekedar upaya menjalin silaturahmi. Prabowo yang unggul dalam Quick Count Pilpres, mengunjungi SBY di Pacitan. Pada agenda lain, Jokowi makan malam bersama Surya Paloh di Istana Negara. Tentu menarik untuk dicermati. Periode bulan madu kekuasaan akan segera dimulai.
Hasil akhir Pilpres dan Pileg, tentu menunggu Real Count KPU. Satu hal yang berpotensi menjadi sumber konflik, adalah sistem rekapitulasi yang bermasalah. Persepsi akan ketidakpercayaan publik pada penyelenggara pemilu, bertemu realitas kebuntuan sistem hitung KPU, klop.
Seruan moral dari perguruan tinggi, baik mahasiswa serta guru besar tentang etik dan kemunduran demokrasi tidak berdampak. Publik bernalar secara berbeda. Hal ini dinilai sebagai buah dari skema patron-klien politik, dalam agenda setting yang dikonstruksi melalui instrumen kekuasaan.
Bagaimanapun, proses demokrasi memang fluktuatif, pasang-surut. Merujuk Economist Intelligence Units, 2023, nilai indeks demokrasi Indonesia tercatat 6.53, peringkatnya menurun dari 54 menjadi 56. Terkategori sebagai demokrasi cacat -flawed democracy. Kemerosotan itu terjadi, rusak dari atas.
Peran masyarakat sipil dan intelektual, menjadi semakin menguat. Konsolidasi elemen demokrasi harus terjadi, tidak boleh berhenti pada siklus pemilihan lima tahunan. Terlebih ketika polarisasi publik terjadi, sebagai akibat dari upaya komodifikasi kepentingan yang bersifat partisan. Perlu pencerahan.
Tetapi panggung politik tidak pernah vakum, bahkan dinamis dan fleksibel. Semua berhitung, melihat peluang, mengambil kesempatan. Diksi rekonsiliasi diajukan untuk melakukan akomodasi, berbagi posisi. Saat semua berkonsentrasi pada jatah kursi, harga bahan pangan melambung tinggi.
Pertanyaan besar selanjutnya, akankah koalisi jelang kontestasi akan mampu bertahan? Ketika kandidat yang dipasangkan mewakili kepentingan elit, proksi incumbent. Kultur politik kita belum mengukuhkan peran oposisi, semua yang bertanding akan bersanding. Kekuasaan menggiurkan.
Analisis BBC News Indonesia, (19/2) mengenai perbandingan keterpilihan Prabowo-Gibran dengan suksesi Filipina ditampilkan. Pola yang mirip terjadi pada dua negara Asia Tenggara ini. Bongbong Marcos Jr menggandeng Sara Duterte sebagai wakil, merupakan anak mantan presiden Duterte.
Popularitas Duterte mengerek pasangan ini, untuk memenangi kontestasi. Tak lama kemudian, pecah kongsi terjadi, kedua belah pihak cekcok. Kepentingan pragmatis, hanya mampu bertahan sementara. BBC News Indonesia tidak bisa memprediksi, terlebih karena situasi dan kultur politik berbeda.
Situasinya kurang lebih sama. Gibran adalah anak Jokowi, didapuk menjadi wakil Prabowo. Periode pemilihan terjadi, saat kekuasaan masih dikendalikan Jokowi -sitting president. Pasca pelantikan, segala kemungkinan terjadi, kecuali ada wilayah konsesi yang telah di-kavling.
Boleh jadi, Gibran akan menjadi penyambung lidah ayahnya. Jokowi juga bisa menempatkan "orang kepercayaannya" di kabinet sebagai jembatan, proses komunikasi dua tahap dilakukan. Keberhasilan skema komunikasi tersebut, sangat bergantung sejauh mana Prabowo menerima sinyal pesan.