Senafas! Pernyataan Menko Polhukam yang menyatakan bahwa, "Kritik di media sosial biasanya tidak mewakili fakta dan pendapat publik", (Kompas.com, 21/8) hampir serupa dengan yang disampaikan presiden mengenai keberadaan media sosial beserta dampak negatifnya pada pidato kenegaraan HUT Ri ke-78 lalu. Perlu dipahami bahwa ruang media sosial, merupakan sebuah arena baru.
Meski begitu, keberadaan media sosial tidak dapat dipungkiri menjadi sarana ekspresi yang interaktif. Bila berkaca pada pernyataan tersebut di atas, maka posisi Menko Polhukam merespon kritik melalui media sosial dalam dua simpulan, (i) didengarkan dan dicatat, dan (ii) biasanya, kritik serta penilaian buruk kepada pemerintah terkait dengan posisi politik, sehingga terlepas dari fakta.
Tentu kita harus memahami ruang kehidupan digital sebagai sebuah fenomena pertukaran informasi yang sangat massif. Jejaring internet memungkinkan secara seketika, semua pihak bersuara atas suatu situasi tertentu, termasuk urusan politik. Keberlimpahan informasi kemudian menjadi gugusan kumpulan data yang maha besar -big data.
Melalui analisis big data, kita akan mampu melihat serta memahami realitas yang ada di benak publik. Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dilahirkan melalui jaringan penggunaan teknologi, IoT -internet of things. Dalam konsep komunikasi, media sosial bertindak sebagai sarana -medium. Hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, media sosial membuat lingkup hidup menjadi setara.
Suara publik menemukan kanal, untuk menyampaikan aspirasinya kepada para pemangku kebijakan, secara langsung melalui mediasi akun media sosial. Kondisi ini tentu agak sulit terjadi dalam realitas kehidupan offline yang penuh hierarki protokoler secara bertingkat. Sehingga, menjadi sebuah hal yang normal, bila kemudian variasi pendapat sedemikian luas, dari ekstrim kiri hingga kanan.
Bagi pejabat publik, tanggapan dan komentar publik adalah bagian dari suara yang harus didengar secara jernih. Dalam volume yang sangat besar, data percakapan dan informasi di ruang kritik melalui media sosial tetaplah menjadi pesan penting sebagai suara publik -voices, meski ada pengotornya -noises yang menimbulkan bias kebisingan. Tetapi esensinya tidak bisa diabaikan.
Sebagaimana komunikasi, ada gangguan yang mungkin muncul, namun yang perlu ditangkap sebagai hal terpenting adalah pesan yang disampaikan. Sehingga pokok utama dalam memahami ruang kritik di media sosial adalah memahami makna, dan bukan berfokus pada gangguan yang timbul. Bila ruang saluran komunikasi normal berlangsung baik, maka ruang kritik di media sosial menjadi tidak relevan.
Jika merujuk apa yang disampaikan Menko Polhukam, wilayah media sosial rentan untuk dipergunakan bagi kepentingan tertentu, disebutkan peran buzzer yang melakukan upaya menjelekan pemerintah. Tentu harus diingat, berkali-kali dalam konteks penegakan hukum, keadilan baru tegak manakala sebuah kasus berubah menjadi viral dan trending di media sosial. Berbeda dari jalur formal legal.
Kalau sudah begitu, media sosial memiliki peran yang tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Media sosial menjadi media baru, sebagaimana ekstensi media konvensional, memiliki peran untuk menjaga ruang kehidupan sosial. Kehadiran buzzer, bot, troll hingga cyber army sesungguhnya tidak terlepas dari polarisasi politik, yang dipergunakan oleh para elite itu sendiri.
Sehingga, upaya untuk membersihkan polusi di ruang informasi, jelas memerlukan keteladanan. Dalam hal itu, publik juga pernah mencatat, statement petinggi negeri yang menyebut big data, bahwa terdapat 110 juta percakapan mendukung penundaan pemilu. Tentu masih terdapat rasionalitas publik, untuk menolak pernyataan tersebut.
Secara alamiah, tema organik dan rekayasa di media sosial bisa dibedakan, manakala kemampuan literasi pengguna dipergunakan. Proses memilih dan memilah informasi, menjadi dibutuhkan untuk menimbang data berdasarkan kepentingan luas. Disamping itu, literasi para pejabat publik terkait suara publik juga perlu ditingkatkan, memiliki sensitivitas dalam mencermati persoalan sosial.
Dalam kritik publik, ada upaya untuk melakukan evaluasi, koreksi maupun partisipasi, memastikan roda negara berjalan tegak lurus pada rel kepentingan publik, sebagai substansi demokrasi. Karena itu, para penyelenggara kekuasaan tidak perlu merasa risih, atau bahkan menuding sebagai penghinaan martabat. Sebab dalam amanah jabatan, para petinggi sudah sewajarnya menerima kritik publik.
Melalui perspektif berbeda, Ariel Haryanto, Ujar Kebencian (Kompas, 19/8) menyebut, media sosial tidak menyebabkan hadirnya ujar kebencian. Ia hanya mempercepat dan memperluas sebaran pesan. Ujar kebencian bersumber dari luka sosial. Bahkan, caci maki layak diberi hak suara di ruang publik sebagai jeritan kaum yang terluka.
Dengan begitu, suara berbeda perlu didengar, bukan hanya sekedar mendengar keserempakan koor lagu persetujuan. Di balik kritik, ada kebaikan yang hendak dibangun, dibanding serangkaian puja-puji yang melenakan. Bijak dan waspadalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H