Secara alamiah, tema organik dan rekayasa di media sosial bisa dibedakan, manakala kemampuan literasi pengguna dipergunakan. Proses memilih dan memilah informasi, menjadi dibutuhkan untuk menimbang data berdasarkan kepentingan luas. Disamping itu, literasi para pejabat publik terkait suara publik juga perlu ditingkatkan, memiliki sensitivitas dalam mencermati persoalan sosial.
Dalam kritik publik, ada upaya untuk melakukan evaluasi, koreksi maupun partisipasi, memastikan roda negara berjalan tegak lurus pada rel kepentingan publik, sebagai substansi demokrasi. Karena itu, para penyelenggara kekuasaan tidak perlu merasa risih, atau bahkan menuding sebagai penghinaan martabat. Sebab dalam amanah jabatan, para petinggi sudah sewajarnya menerima kritik publik.
Melalui perspektif berbeda, Ariel Haryanto, Ujar Kebencian (Kompas, 19/8) menyebut, media sosial tidak menyebabkan hadirnya ujar kebencian. Ia hanya mempercepat dan memperluas sebaran pesan. Ujar kebencian bersumber dari luka sosial. Bahkan, caci maki layak diberi hak suara di ruang publik sebagai jeritan kaum yang terluka.
Dengan begitu, suara berbeda perlu didengar, bukan hanya sekedar mendengar keserempakan koor lagu persetujuan. Di balik kritik, ada kebaikan yang hendak dibangun, dibanding serangkaian puja-puji yang melenakan. Bijak dan waspadalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H