Kedua: bahwa pengaturan dibidang kesehatan, merupakan terjemahan dari kebutuhan untuk semakin memberikan akses yang luas bagi publik, guna mendapatkan pelayanan kesehatan.
Setidaknya dalam dua hal krusial tersebut, parapihak telah membangun landasan kesepahaman. Problemnya adalah, terdapat sudut pandang yang masih berlawanan.
Disini letak penting pembentukan resolusi bersama dengan komitmen bahwa, (i) semua pihak terlibat harus berada dalam relasi yang seimbang dan setara, (ii) menciptakan kerangka saling menguntungkan, mengakomodasi seluruh kepentingan.
Agenda Publik
Perlu penjelasan yang rinci, dalam menerangkan persoalan kepentingan publik. Pihak mana yang disebut sebagai publik? Serta siapa yang hendak diajukan sebagai indikator utama dalam tujuan penyusunan peraturan.
Kesehatan memang barang publik, dan untuk itu bersifat komprehensif. Dalam hal tersebut publik jelas meliputi, (i) penerima layanan kesehatan, dan (ii) pemberi pelayanan. Karenanya, kedua sisi perlu didengarkan.
Bila organisasi profesi kesehatan sebagai dari pemberi layanan tidak merasa dilibatkan, serta kelompok masyarakat sipil menyebut minim partisipasi dengan berbagai catatan, sudah barang tentu perlu pengkajian ulang, apakah memang rancangan perangkat aturan ini menjawab kebutuhan publik.
Kita tentu berharap tidak ada agenda lain yang ditumpangkan bersama pembentukan regulasi baru, meski hal itu bisa sangat mungkin terjadi, bila diindaksikan melalui, (i) kilatnya waktu pembahasan (ii) minimnya keterlibatan parapihak terkait, dan (iii) penyederhanaan atas kompleksitas persoalan. Semoga tidak demikian.
Lantas seperti apa konstruksi RUU Kesehatan yang mampu dipersetujui semua pihak? Jika mengakomodasi, (i) peningkatan kuantitas dan kualitas akses kesehatan publik, (ii) membentuk sistem kesehatan nasional, ditopang dengan politik anggaran yang memadai, 10% mandatory spending, (iii) memenuhi mekanisme perlindungan hukum bagi pemberi layanan, baik tenaga maupun institusi medis, (iv) terdapat ruang tumbuh bagi profesi kesehatan melalui kelembagaan organisasinya.
Tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. RUU Kesehatan yang menjadi "milik bersama" hanya akan menjadi sebuah realitas manakala isu-isu kesehatan tidak ditempatkan sebagai agenda sekunder. Sesuatu yang sangat mungkin tenggelam diantara hingar-bingar kepentingan kontestasi politik nasional. Untuk itu, rasanya kita masih harus terus berharap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H