Angka kuantitatif tersebut seolah mengesankan representasi jumlah yang besar. Tetapi ada ruang abu-abu antara pelaksanaan sosialisasi dengan pengambilan keputusan. Jarak yang senjang itu, terlihat dari usulan "ganjil" untuk menghilangkan kewajiban atas komitmen 10% anggaran kesehatan.
Tentu menjadi pertanyaan, ketika semangat omnibus kesehatan adalah perluasan akses bagi kepentingan pelayanan kesehatan bagi publik, disatu sisi lain anggaran kesehatan justru tidak diupayakan untuk dapat terpenuhi. Lalu siapa yang akan menanggung biaya program kesehatan?
Bila kita ingin sampai pada tujuan kemaslahatan yang luas, maka sudah pasti komitmen politik yang konkrit tersebut, tercakup pada kapasitas besaran anggaran yang disediakan.
Di Tangan Anggota Dewan
Sebuah kebijakan, sebagaimana konstruksi kasus hukum, merujuk Marcus Cicero, seorang filsuf, harus didekatkan pada konstruksi siapa yang diuntungkan? -cui bono. Dengan ajuan DIM pemerintah, kita sulit menebak apakah publik yang mendapat keuntungan. Atau ada motif lain?
Posisi akhirnya, akan ditentukan oleh para wakil rakyat yang ada di Senayan. Teramat sulit untuk bisa memberikan basis kepercayaan pada proses tersebut. Terlebih, ketika anggota legislatif kerap kali justru tidak menjadi kanal bagi kepentingan publik, melainkan corong partai politik.
Indikasinya mudah saja, tengok pernyataan salah seorang anggota legislatif yang menyebut bila anggota dewan hanya nurut bosnya masing-masing. Tentu mengecewakan. Meski partai adalah instrumen politik dalam demokrasi, tetapi membebek hanya kepada instruksi ketua partai, justru merendahkan kualitasnya.
Rasanya banyak hal yang belum detail dibahas dalam RUU Kesehatan, seperti bagaimana sistem kesehatan nasional kita akan dibangun? Bagaimana BPJS Kesehatan akan berperan berhadapan dengan defisit anggaran yang kerap dialaminya? Lantas bagaimana bersiap untuk antisipasi situasi pandemi? Seperti apa produksi dan distribusi para tenaga medis dan tenaga kesehatan ke depan?
Pengambil keputusan, baik eksekutif maupun legislatif, harus cermat memperhatikan apa yang akan dirumuskan sebagai peraturan. Disadari atau tidak, kesehatan adalah pangkal dari seluruh kemampuan sumber daya manusia Indonesia, untuk beraktifitas dalam derap pembangunan.
Bila kita tergopoh-gopoh mendorong RUU Kesehatan, tanpa melihat konsekuensi utuh yang terkait dengannya, maka bisa jadi kita justru tengah mempertaruhkan masa depan bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H