Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Belajar Terbuka di Audit BPJS Kesehatan

15 Februari 2023   15:18 Diperbarui: 15 Februari 2023   15:43 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakikat terberat dari konsekuensi ketertutupan informasi, adalah terciptanya ruang gelap yang penuh prasangka, dan berpotensi pada terciptanya konflik yang mengemuka. Saling gugat, sama-sama tidak percaya. Kredibilitas pengelola persoalan publik menjadi dipertanyakan. Lebih jauh lagi, penyelesaian atas masalah publik kemudian diambil melalui informasi terbatas, di lingkaran elit semata.

Padahal emansipasi publik, hanya dapat tercipta melalui partisipasi aktif. Lembaga publik menjadi pengembang kepentingan serta corong bagi publik. Sementara itu, pemangku kekuasaan sudah seharusnya mampu menangkap aspirasi dari kehendak publik dalam mengatasi berbagai persoalan.

Diskursus yang dimunculkan, terkait saling gugat Kemenkeu dan ICW, memperlihatkan keseimbangan ruang itu dapat dipergunakan bagi kebaikan publik. Kekuasaan tidak dapat semena-mena memberi tafsir tentang apa yang disebut rahasia, terlebih bila hal tersebut berurusan dengan hajat publik yang luas.

Institusi Kesehatan si Homo Sacer

Ada yang tercecer dari pertarungan wacana terkait keterbukaan informasi atas hasil audit BPJS Kesehatan, yakni mereka pemberi layanan baik profesi maupun institusi kesehatan. Kenapa? Tersebab bila selama ini tudingan selalu diarahkan pada muka dan hidung mereka.

Persoalan kecurangan -fraud yang dimaknai sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan dengan tindakan manipulatif, seolah menempatkan tuduhan itu pada pemberi layanan. Mereka inilah yang mendapatkan sorotan dan sentimen negatif. Meski begitu terbentuk relasi yang benci tapi butuh.

Sebagai sebuah program, BPJS Kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Terdapat kepentingan publik sebagai penerima pelayanan, dan institusi serta profesi kesehatan sebagai juru layanan. Ketika terjadi program defisit, pembicaraan mengenai fraud mengemuka, mudah ditebak siapa yang menjadi kambing hitam.

Kelompok ini sebagaimana Giorgio Agamben sebut homo sacer, mereka yang bisa dimatikan kapan saja, menjadi kelompok pelengkap penderita serta termarjinalkan, seakan tanpa hak suara. Padahal keberhasilan program BPJS Kesehatan akan sangat bergantung dari keberadaan mereka.

Pada posisi yang sama, sejatinya profesi dan institusi kesehatan juga membutuhkan keterbukaan data hasil audit BPKP tersebut guna dapat membersihkan martabat serta nama baik. Kita kembali pada prinsip moral dan falsafah Pancasila, kesejahteraan dimaknai secara gotong royong dan berkeadilan.

Ketika sebuah program nasional memberikan dampak luas bagi publik, maka seharusnya yang dilakukan otoritas kekuasaan adalah memastikan semua pihak terjamin keselamatannya tanpa terkecuali. Bukan sebaliknya menebar prasangka, menuai konflik yang justru memperkeruh suasana.

Kesehatan adalah hak semua warga negara, sedangkan tugas kekuasaan adalah memastikan serta bertanggung jawab atas pelaksanaan hal tersebut.  Peran aktif kekuasaan adalah mengantisipasi kegagalan mekanisme pasar, sekaligus memastikan bangsa yang sehat,demi terciptanya negara kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun