Geger! Sosok anonim Bjorka, mendadak viral. Tampil ke publik melalui media sosial, lalu menjadi bahan perbincangan. Banyak yang memuji keberaniannya membocorkan berbagai data hasil curian.
Keberadaan Bjorka bisa dipandang secara ambigu. Satu sisi, peretas ini mencuri begitu banyak data pribadi milik publik, juga data rahasia negara.
Sebaliknya, hal tersebut sekaligus memperlihatkan betapa rentannya sistem perlindungan data digital oleh pemerintah, selaku regulator, otoritas yang berwenang.
Ledekan Bjorka kepada para pemangku kebijakan menjadi relevan untuk dipahami, sebagaimana cuitannya, bila mempublikasi data rahasia, adalah "era baru berdemo, dengan cara berbeda".
Tentu saja, Bjorka menjadi pihak yang sedang diburu aparat penegak hukum. Tetapi upaya mencari Bjorka, seharusnya dibarengi dengan pembenahan sistematik atas perlindungan data publik.
Dalam konsep kehidupan era digital, kita terkoneksi melalui internet, menjadi masyarakat jejaring. Karena itu data pribadi akan terserak, sehingga dibutuhkan mekanisme pengaturan.
Kuasa mengatur data ini menjadi domain dari penyelenggara negara. Publik memiliki peran dalam kesadaran menjaga data pribadinya, namun pemerintah berkuasa melindungi kedaulatan digital milik publik.
Hacker layaknya Bjorka yang misterius adalah konsekuensi kehidupan digital, pun bila tertangkap, akan sangat mungkin muncul kembali sejenisnya. Sebab itu, kerangka payung hukum data digital perlu disusun.
Data pribadi yang dikumpulkan melalui akses ilegal bisa dan sangat mungkin diselewengkan, disalahgunakan. Dijadikan sebagai target social engineering. Hal itu juga terjadi, di berbagai belahan dunia.
Dokumentasi Netflix, The Great Hack, 2019 memperlihatkan bagaimana data individu yang tergabung melalui Facebook, dipergunakan oleh lembaga Cambridge Analytica sebagai micro targeting dalam masa kampanye presiden Amerika 2016.